OLEH: Khoeri Abdul muid
Apakah mungkin sebuah rivalitas yang begitu tajam, penuh dengan perbedaan pandangan dan kepentingan, dapat berkembang menjadi persahabatan yang sejati?
Persaingan antara dua tokoh besar, Jokowi dan Prabowo, selama beberapa periode Pemilihan Presiden Indonesia, menimbulkan pertanyaan ini. Mereka berdua pernah berdiri di panggung yang sama sebagai lawan, namun pada akhirnya, mereka kini berada di satu barisan, saling bekerja sama untuk memajukan negara. Apakah ini sebuah metamorfosis dari rivalitas menjadi persahabatan? Dan bagaimana kita dapat memahami fenomena ini?
Dari sudut pandang agama, khususnya dalam Islam, persahabatan sejati adalah sesuatu yang melampaui duniawi. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang beriman seperti satu tubuh; jika satu bagian terluka, bagian lain ikut merasakannya. Ini mengajarkan bahwa persahabatan atau kebersamaan bukan hanya sekedar hubungan profesional atau politik. Ia adalah sebuah wujud kasih sayang dan rasa empati yang tulus. Seiring dengan perjalanan waktu, seperti Jokowi dan Prabowo, dua pribadi yang pernah berselisih bisa menemukan titik temu dalam semangat pengabdian yang lebih besar: mencintai negara dan bangsa, sebagai bagian dari iman.
Filsafat memandang rivalitas dan persahabatan dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Aristoteles, hubungan antara manusia dibagi menjadi tiga: berdasarkan kegunaan, kesenangan, dan kebaikan. Pada awalnya, mungkin hubungan Jokowi dan Prabowo terbentuk dari rivalitas yang didorong oleh kepentingan politik---dari kegunaan masing-masing pihak untuk membangun basis pendukung dan mencapai tujuan politik. Namun, seiring waktu, hubungan ini tampaknya mulai bergerak menuju persahabatan yang didasari oleh kebaikan, di mana dua tokoh ini mulai menginginkan yang terbaik bagi bangsa dan satu sama lain, melampaui ego pribadi. Persahabatan ini, seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong, memerlukan kematangan dan kesadaran yang mendalam.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, Erik Erikson berbicara tentang kebutuhan manusia akan hubungan yang mendalam, khususnya di fase dewasa. Ketika manusia dewasa, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab besar, mulai mencari hubungan yang stabil dan bermakna. Dalam kasus Jokowi dan Prabowo, apa yang pada awalnya merupakan persaingan keras berubah menjadi suatu bentuk kolaborasi yang dipenuhi oleh rasa saling menghormati dan mengakui kekuatan masing-masing. Ini adalah tahap di mana mereka telah melewati krisis identitas dan menemukan keseimbangan dalam hubungan mereka, yang sebelumnya penuh ketegangan.
Jika kita melihat perjalanan politik mereka sebagai suatu refleksi, kita menyadari bahwa rivalitas ini mungkin tidak pernah sepenuhnya hilang. Namun, di balik itu semua, terdapat benih persahabatan yang berkembang melalui penghormatan terhadap peran dan tanggung jawab masing-masing. Dalam perjalanan politik yang panjang, keduanya menumbuhkan rasa syukur, kesadaran akan tugas bersama, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah kepentingan yang lebih besar dari perselisihan pribadi.
Ini menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam bahwa dalam setiap langkah politik atau perjuangan pribadi, selalu ada orang lain yang berjalan di samping kita, meskipun awalnya sebagai lawan. Rivalitas yang mekar menjadi persahabatan adalah cerminan dari kedewasaan politik dan spiritual. Dan seperti kepompong yang akhirnya melahirkan kupu-kupu, persahabatan ini adalah sebuah keajaiban yang memperkaya tatanan kehidupan berbangsa.
Maka, jika kita merenungkan perjalanan ini setiap hari, kita akan menyadari bahwa persahabatan yang terbangun dari rivalitas bisa menjadi salah satu hadiah terbesar. Afirmasi positif yang kita bangun di sepanjang perjalanan ini adalah pengingat bahwa meskipun berbeda pandangan, kita semua ingin melihat bangsa ini menjadi lebih baik. Dan dengan sikap ini, kebahagiaan dan harmoni bukanlah sesuatu yang jauh, tetapi hadir dalam setiap kerja sama dan langkah yang diambil bersama.
Cheers to the beauty of rivalry that transforms into friendship, to the joy of shared responsibilities, and to the gratitude of never walking alone, even in the world of politics.