OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah sore yang tenang, aku menemukan diri di Kerteahouse Kemuning, sebuah tempat yang seakan memanggil jiwa-jiwa pencari ketenangan. Menghirup teh aroma bunga Sakura, harum yang lembut seolah membawa pikiran melayang ke alam mimpi. Hiiis, betapa nikmatnya, setiap tetesnya adalah perjalanan yang menyegarkan jiwa.Â
Dalam perspektif agama, menikmati secangkir teh, bisa jadi bukan sekadar kegiatan biasa tanpa makna, tetapi ia juga momen syukur atas anugerah yang diberikan Allah. "Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebihan" (QS. Al-A'raf: 31) menjadi pengingat untuk menikmati setiap momen dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.
Sambil menikmati teh, aku mencicipi beberapa kudapan---bitter ballen yang garing, singkong keju yang gurih, dan pisgor original yang dipadukan dengan krispi. Setiap gigitan adalah perpaduan rasa yang menggugah selera, dan dalam setiap rasa, aku merasa seperti kembali ke masa lalu, saat-saat sederhana penuh keceriaan. Dalam filsafat gastronomi, pengalaman kuliner adalah lebih dari sekadar rasa; ia melibatkan ingatan, konteks sosial, dan bahkan spiritualitas. Setiap hidangan mengundang refleksi tentang bagaimana makanan dapat menyatukan kita, menghadirkan kenangan, dan merayakan persahabatan.
Suara riuh rendah, yel-yel dari Sanggar Literasi Cah Sor Pring (CSP), memecah keheningan, menambah semarak suasana. "Yeay!" seru kami, bersemangat seperti anak-anak yang baru mendapatkan permen. Kebersamaan ini adalah bentuk ikatan yang kuat, di mana setiap tawa dan canda membangun jaringan solidaritas. Mengingat akan teori interaksi sosial, pertemuan ini menguatkan bahwa hubungan antarmanusia adalah fondasi bagi kesejahteraan psikologis kita.
Blusukan di dedaunan dan perdu teh, aku merasakan betapa pentingnya alam bagi kesehatan mental. Suasana hijau yang rimbun menimbulkan rasa sendu dan candu, mengingatkanku akan ketenangan yang hanya bisa didapatkan dari alam. Dalam agama, berhubungan dengan alam adalah bagian dari ibadah, di mana Allah berfirman, "Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang yakin" (QS. Al-Dzariyat: 20). Ketika aku berjalan di antara dedaunan, aku merasakan kedamaian yang mendalam, seolah alam berbicara kepadaku, mengingatkanku akan kekuasaan Sang Pencipta.
Dingin angin menusuk kalbu, menambah nuansa refleksi. Seakan-akan setiap embun yang jatuh mengundang angan-angan untuk melayang ke langit biru. Dalam momen ini, aku menyadari betapa pentingnya mengapresiasi hidup. Filosofi eksistensialis mengajarkan kita untuk menemukan makna dalam setiap pengalaman, tak peduli seberapa kecilnya. Aku membiarkan diriku larut dalam keindahan ini, menuliskan momen berharga dalam hati, seolah-olah langit biru adalah kanvas bagi harapanku yang melambung.
Di Kerteahouse Kemuning, dalam secangkir teh dan kebersamaan yang hangat, aku menemukan harmoni. Momen ini adalah pengingat bahwa dalam kesederhanaan, kita dapat menemukan kebahagiaan yang sejati. Terima kasih, Tuhan, terima kasih alam, dan terima kasih, sahabat, untuk setiap tawa dan kenangan yang telah dibangun. Mari kita terus melangkah, menikmati setiap detik kehidupan, dan menemukan kebahagiaan dalam setiap teh yang kita seduh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H