Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Daerah, Buat Apa?

30 September 2024   16:38 Diperbarui: 30 September 2024   16:46 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bahasa daerah. sumber: [Antara]

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pada awal abad ke-20, muncul gelombang nasionalisme di Asia, dan Indonesia menjadi salah satu pelopornya. Gerakan perlawanan terhadap kolonialisme membawa keyakinan bahwa setiap bangsa berhak atas kedaulatan dan identitasnya. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, setelah menegaskan dasar-dasar kebangsaannya melalui homogenisasi budaya, yang ditandai oleh Sumpah Pemuda pada 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Namun, di balik seruan persatuan ini, terletak pemahaman yang lebih dalam---bahwa homogenisasi tidak berarti mengabaikan heterogenitas.

Kedua konsep ini, satu dan banyak, saling melengkapi dalam kerangka ke-Bhinnekaan. Kebudayaan nasional bukanlah monolit, melainkan puncak dari beragam kebudayaan daerah yang menjadi akar dari nasionalisme Indonesia. Ketika kita menyaksikan marginalisasi budaya daerah, termasuk bahasa daerah sebagai bahasa rakyat, kita sedang mengingkari semangat heterogenitas ini. Ini merupakan ancaman terhadap fondasi nasionalisme kita. Mengabaikan bahasa daerah sama dengan mencabut bangsa Indonesia dari akarnya.

Dari perspektif filsafat, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga medium ekspresi kultural yang mendalam. Dalam hal ini, Kenneth Minogue, sebagaimana dikutip oleh Adam dan Jessica Kuper, mengungkapkan bahwa bahasa merupakan ukuran seberapa jauh batas-batas kedaulatan suatu bangsa bisa dibentangkan. Bahasa daerah, seperti Bahasa Indonesia, memiliki nilai yang khas dan harus dijaga serta dikembangkan. Bahasa Jawa, misalnya, dengan unggah-ungguh basa-nya, dapat berfungsi sebagai media untuk memperhalus budi pekerti. Dalam konteks saat ini, di tengah maraknya fenomena materialisme, hedonisme, dan tren "ndugalisme" (perilaku tidak sopan), penting untuk memupuk budi pekerti yang baik melalui pemahaman dan penggunaan bahasa daerah.

Sebagai bagian dari penguatan identitas, saya berpendapat bahwa baik Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah harus selalu dibina dan dilestarikan. Kurikulum pendidikan kita harus mencerminkan hal ini---menjadi cetak biru bagi pengembangan dan pelestarian bahasa daerah. Di sinilah peran kurikulum baru menjadi sangat penting. Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana pelaksanaan dan implementasi kurikulum ini dalam konteks bahasa daerah?

Melihat dari perspektif agama, kita diajarkan untuk menghargai keragaman sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Dalam banyak tradisi, bahasa diartikan sebagai wahana penyampai nilai dan kearifan lokal. Dengan merayakan bahasa daerah, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menegaskan bahwa setiap bahasa mengandung hikmah dan pengetahuan yang berharga. Ini sejalan dengan ajaran banyak agama yang mendorong umatnya untuk saling menghormati dan memahami perbedaan.

Dengan demikian, kita dihadapkan pada tantangan penting: bagaimana mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam kehidupan sehari-hari dan kurikulum pendidikan kita tanpa mengorbankan identitas nasional kita. Kita perlu menyadari bahwa bahasa daerah bukanlah sekadar alat komunikasi, tetapi juga representasi dari identitas dan kearifan budaya yang kaya. Mari kita renungkan, apakah kita sudah cukup menghargai bahasa daerah kita? Apakah kita berani melawan arus homogenisasi yang mengancam keberagaman kita?

Refleksi ini bukan hanya sekadar pertanyaan, tetapi juga undangan untuk beraksi. Kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya yang ada. Sebuah bangsa yang menghargai bahasanya, baik itu Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, adalah bangsa yang sadar akan jati dirinya, berakar kuat, dan siap menghadapi masa depan yang lebih cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun