OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apakah kita sungguh memahami arti setiap detik yang berlalu, atau sekadar mengabaikannya dalam rutinitas sehari-hari? Mengapa kita sering terjebak dalam ilusi bahwa waktu selalu tersedia, padahal sejatinya ia tak pernah berhenti bergerak?
Alhamdulillah, terbangun dari tidur. Subuh menyingsing. Menyongsong matahari terbit, menyambut hari baru. Tapi, apa makna hari baru ini? Apakah ia sekadar pergantian waktu, atau lebih dari itu?
Jika kita memandang hidup dari perspektif filsafat, waktu bukan hanya kumpulan detik yang mengalir tanpa arah. Dalam pemikiran filsuf eksistensial seperti Heidegger, waktu adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan kita. "Being-towards-death" adalah konsepnya tentang bagaimana waktu menentukan keberadaan kita sebagai makhluk fana. Setiap detik membawa kita lebih dekat pada kematian, dan dalam kesadaran itu, kita dituntut untuk memberi makna pada setiap momen yang tersisa.
Kita sering kali hidup seolah-olah waktu adalah sesuatu yang tanpa batas. Dalam kesibukan sehari-hari, kita terlena dengan rutinitas, seakan esok hari selalu tersedia. Namun, kesadaran akan keterbatasan waktu adalah kunci untuk menjalani hidup yang lebih bermakna. Bukan hanya soal "mengisi waktu," tetapi bagaimana kita memanfaatkan setiap detik untuk perbaikan diri dan memberikan kontribusi yang berarti.
Dalam Islam, waktu adalah amanah dan ujian. Surah Al-Asr mengingatkan kita tentang urgensi waktu: "Demi masa! Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh..." (QS. Al-Asr: 1-3). Ayat ini adalah refleksi mendalam bahwa waktu bukanlah sesuatu yang bisa kita habiskan tanpa makna. Setiap detik yang berlalu tanpa amal, tanpa usaha perbaikan diri, adalah kerugian yang tidak tergantikan.
Dalam pandangan filsafat stoikisme, waktu juga menjadi pusat refleksi kehidupan. Para filsuf stoik seperti Seneca dan Marcus Aurelius mendorong kita untuk memanfaatkan waktu dengan bijaksana, memahami bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atas nasib, tetapi kita selalu memiliki kendali atas bagaimana kita merespons setiap momen. "Memento Mori"---ingatlah kematian---adalah prinsip yang mengajarkan kita untuk menghargai hidup, bukan sebagai ketakutan, tetapi sebagai pengingat bahwa setiap saat adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Bisnis hidup sejatinya adalah bagaimana kita memandang waktu sebagai modal yang paling berharga. Seperti seorang pengusaha yang cerdas dalam mengelola asetnya, kita pun harus bijak dalam mengelola waktu kita. Setiap detik yang kita lalui tanpa pemaknaan adalah kehilangan. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk memperbaiki diri, bukan hanya dalam aspek material, tetapi lebih pada aspek spiritual dan eksistensial.
Apa yang kita kejar dalam hidup ini? Kebahagiaan? Ketenangan? Kesuksesan? Semuanya berakar pada bagaimana kita menggunakan waktu kita. Kita tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi, tetapi kita bisa memilih bagaimana merespons setiap kejadian yang datang. Dalam menjalani bisnis hidup, perbaikan diri, amal baik, dan refleksi harus menjadi bagian integral dari setiap momen yang kita miliki.
Pada akhirnya, hidup ini adalah perjalanan yang terus bergerak maju. Waktu tidak menunggu kita, ia terus berlalu, membawa kita lebih dekat ke akhir dari segala yang fana. Jika kita tidak menggunakannya dengan bijak, kita akan kehilangan kesempatan untuk memetik buah dari apa yang kita tanam. Sebab, dalam hidup, waktu adalah modal, dan apa yang kita lakukan dengannya akan menentukan apa yang kita tuai---di dunia dan akhirat.