Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring] E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menggali Makna: Refleksi Sejarah dan Agama dalam Diskusi Filosofis

27 September 2024   18:51 Diperbarui: 27 September 2024   18:58 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
islamdigest.republika.co.id

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dalam melanjutkan diskusi yang semakin mendalam, saya dan teman saya berusaha menelusuri ajaran Aristoteles yang menyarankan Alexander untuk berkunjung ke Timur, ke wilayah yang dihuni oleh orang-orang Aphiru. Melalui penjelasan ini, saya teringat akan identitas yang dihubungkan dengan bangsa Ibrani. 

Menarik untuk dicatat bahwa istilah "Aphiru" berasal dari bahasa Qobtik kuno, yang menggambarkan perjalanan Ibrahim dan rombongannya---dikenal sebagai Aphiru oleh orang Mesir. Refleksi ini membawa saya merenungkan bagaimana etimologi suatu kata dapat membuka jendela pemahaman kita terhadap sejarah dan budaya yang lebih luas, selaras dengan nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang terkandung dalam Pancasila.

Namun, perjalanan istilah ini tidak berhenti di situ. Seiring waktu, "Aphiru" mengalami deformasi menjadi "Ibrani," yang kemudian digunakan untuk merujuk pada bangsa Yahudi. Dalam konteks ini, saya mulai merenungkan bagaimana perubahan makna bisa mencerminkan dinamika sosial dan politik yang lebih besar. Setiap istilah yang kita gunakan bukan hanya sekadar kata; ia adalah representasi dari pengalaman kolektif, di mana setiap deformasi makna mencerminkan pergeseran dalam perspektif dan identitas, mencerminkan nilai Persatuan Indonesia yang menghargai keragaman pengalaman dan latar belakang.

Selanjutnya, saya memikirkan pernyataan Aristoteles mengenai orang-orang Aphiru dalam konteks zamannya, abad ke-3 SM. Pandangannya, meskipun tepat untuk waktu itu, harus kita kritisi dalam konteks modern. Kini, tidak hanya Yahudi yang memegang monoteisme; agama-agama lain, seperti Kristen dan Islam, telah muncul sebagai pewaris ajaran-ajaran ilahi. St. Paulus dan Nabi Muhammad SAW, dalam refleksi ini, diakui sebagai penyebar utama ajaran monoteistik kepada bangsa-bangsa di luar Yahudi. Ini sejalan dengan nilai Bhinneka Tunggal Ika, yang mengingatkan kita akan pentingnya menghargai keragaman keyakinan dalam masyarakat.

Namun, di sini muncul satu pertanyaan yang membuat saya berpikir kritis: Mengapa penyebaran Islam dianggap tidak secepat Kristen? Mungkin ini mencerminkan perbedaan dalam metode penyebaran, keyakinan para pengikut, dan konteks sosial yang melingkupi masing-masing agama. Dalam Islam, ada nilai-nilai universal yang mengajarkan tentang kasih sayang dan toleransi yang bisa menarik perhatian banyak orang, namun tantangan seperti prejudis dan stereotip sering kali menghalangi pemahaman yang lebih dalam tentang agama ini. Di samping itu, Islam mengajarkan bahwa penyebaran ajaran tidak hanya melalui lisan, tetapi juga melalui akhlak yang baik dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, selaras dengan prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang mendasari perlakuan adil terhadap semua agama.

Sebagai refleksi, saya merasa penting untuk menghargai nuansa dan keunikan dalam perjalanan setiap agama, tanpa terjebak dalam perbandingan yang sederhana. Diskusi ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang bagaimana pemahaman kita tentang kepercayaan dan identitas terus berkembang. Seperti halnya istilah "Aphiru" yang berubah makna, begitu juga dengan keyakinan kita; ia harus mampu beradaptasi dengan konteks zaman tanpa kehilangan esensinya. Ini mengingatkan kita akan pentingnya Gotong Royong, yaitu saling mendukung dalam memahami dan mengembangkan wawasan kita.

Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa diskusi tentang agama, sejarah, dan filosofi tidak hanya menuntut pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan untuk memahami perbedaan dan kesamaan di antara kita. Hanya dengan cara inilah kita dapat menavigasi dunia yang kompleks ini, merangkul keragaman sambil tetap menghargai akar sejarah kita. Melalui lensa Islam, kita diajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk perjalanan sejarah dan perkembangan agama, merupakan bagian dari rencana Ilahi yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap terbuka dan reflektif, serta berusaha untuk mengintegrasikan ajaran-ajaran moral dan spiritual dalam setiap diskusi yang kita lakukan, sehingga menciptakan masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun