OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu gelap gulita. Listrik di seluruh desa mati total. Suara kipas angin yang biasanya berputar dengan lembut kini hilang, digantikan dengan derik jangkrik yang bersahut-sahutan. Angin malam yang biasanya tak terasa karena udara pengap kini menggelitik kulit, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Di dalam rumah kecil, suasana berubah menjadi penuh keluhan.
"Mbak! Listrik mati, aku nggak bisa nonton sinetron," gerutu Rani, anak tiriku, dengan wajah kesal sambil memukul-mukul bantal di kursinya.
Sementara itu, suamiku, Pak Harun, tampak gelisah. Ia baru saja pulang dari bekerja di ladang dan belum sempat menikmati acara televisi kesayangannya. "Aduh, kenapa juga mati listrik di saat begini?" desahnya.
Aku menghela napas panjang, menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Ada kemarahan, tapi juga kesedihan. Listrik mati, dan seolah semua kebahagiaan di rumah ini ikut padam. Rani tidak bisa menonton sinetron, Pak Harun tak bisa menikmati waktu luangnya, dan aku? Aku hanya bisa memandangi gelap yang semakin pekat.
Namun, di tengah kekesalan mereka, aku mendapati keheningan ini seperti undangan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu yang menenangkan dalam gelap, suara jangkrik, dan cahaya rembulan yang samar-samar menyusup dari balik awan.
"Apa nggak capek terus mengeluh soal listrik? Kenapa kita nggak coba menikmati malam ini tanpa lampu?" usulku sambil mendekati jendela, membuka lebih lebar.
Rani melotot tak percaya, "Maksud Mbak apa? Menikmati kegelapan?"
"Ya. Lihatlah di luar. Bukankah langit malam sangat indah kalau kita benar-benar melihatnya?" Aku tersenyum kecil, mengisyaratkan mereka untuk keluar rumah.
Pak Harun memandangku dengan ragu, sementara Rani langsung mengerucutkan bibir. "Aku nggak mau, gelap dan serem!"