OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di tengah sunyi malam yang hanya ditemani oleh cicit suara angin, terdengar detak hati yang berdegup kencang. Bayu, seorang pria muda yang biasanya penuh amarah dan ketidakpuasan, duduk di sudut kamar dengan pikiran yang kacau. Amarahnya terus membara sejak pagi, dan sekarang, di tengah hening, ia merasa terjebak di dalam badai emosinya sendiri.
"Apa salahku?" gumam Bayu lirih. "Kenapa semua orang selalu menyalahkanku?"
Bayangan wajah ayahnya melintas di pikirannya, menatapnya dengan tatapan yang menuntut. "Kamu tidak pernah mendengarkan, Bayu," kata-kata itu terus menghantuinya, membuatnya semakin merasa terasing dari dirinya sendiri. Seolah semua yang dia lakukan selalu salah di mata dunia.
Bayu berdiri, meraih sebatang rokok dari meja dan menyalakannya. Asapnya mengambang di udara, tetapi bukannya menenangkan, justru semakin menambah berat suasana. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, mencoba meredakan gejolak batinnya.
Namun, di tengah hiruk pikuk pikiran, ada sesuatu yang tak biasa. Ada sebuah suara dalam dirinya yang seakan mulai berbisik, bukan suara amarah atau kebencian, tetapi suara yang tenang. Suara yang asing, namun begitu akrab, seakan sudah lama tersembunyi di dalam dirinya.
"Wenehana katentreman..." suara itu bergema dalam pikirannya.
Bayu terdiam. Ia mencoba mendengarkan lebih dalam. Ada ketenangan dalam bisikan itu, seperti panggilan untuk berhenti, untuk duduk, untuk merenung. Ia mematikan rokoknya dan menarik napas panjang. Hatinya, yang biasanya bergejolak, perlahan-lahan mulai mereda, meskipun sedikit.
Ia ingat ajaran kakeknya, ajaran tentang pentingnya "ening" atau ketenangan batin. Kakeknya, seorang lelaki bijak yang pernah berkata bahwa hanya dengan menenangkan hati, seseorang bisa menemukan jawabannya sendiri.
"Krodhaning napsumu ayo disirep..." suara itu terus menggema.