Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Rektor sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring] E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sinau Ening

25 September 2024   09:37 Diperbarui: 25 September 2024   09:54 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di tengah sunyi malam yang hanya ditemani oleh cicit suara angin, terdengar detak hati yang berdegup kencang. Bayu, seorang pria muda yang biasanya penuh amarah dan ketidakpuasan, duduk di sudut kamar dengan pikiran yang kacau. Amarahnya terus membara sejak pagi, dan sekarang, di tengah hening, ia merasa terjebak di dalam badai emosinya sendiri.

"Apa salahku?" gumam Bayu lirih. "Kenapa semua orang selalu menyalahkanku?"

Bayangan wajah ayahnya melintas di pikirannya, menatapnya dengan tatapan yang menuntut. "Kamu tidak pernah mendengarkan, Bayu," kata-kata itu terus menghantuinya, membuatnya semakin merasa terasing dari dirinya sendiri. Seolah semua yang dia lakukan selalu salah di mata dunia.

Bayu berdiri, meraih sebatang rokok dari meja dan menyalakannya. Asapnya mengambang di udara, tetapi bukannya menenangkan, justru semakin menambah berat suasana. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar, mencoba meredakan gejolak batinnya.

Namun, di tengah hiruk pikuk pikiran, ada sesuatu yang tak biasa. Ada sebuah suara dalam dirinya yang seakan mulai berbisik, bukan suara amarah atau kebencian, tetapi suara yang tenang. Suara yang asing, namun begitu akrab, seakan sudah lama tersembunyi di dalam dirinya.

"Wenehana katentreman..." suara itu bergema dalam pikirannya.

Bayu terdiam. Ia mencoba mendengarkan lebih dalam. Ada ketenangan dalam bisikan itu, seperti panggilan untuk berhenti, untuk duduk, untuk merenung. Ia mematikan rokoknya dan menarik napas panjang. Hatinya, yang biasanya bergejolak, perlahan-lahan mulai mereda, meskipun sedikit.

Ia ingat ajaran kakeknya, ajaran tentang pentingnya "ening" atau ketenangan batin. Kakeknya, seorang lelaki bijak yang pernah berkata bahwa hanya dengan menenangkan hati, seseorang bisa menemukan jawabannya sendiri.

"Krodhaning napsumu ayo disirep..." suara itu terus menggema.

Bayu menutup matanya. Ia mencoba mengingat setiap kali dirinya dikuasai amarah. Pertengkarannya dengan sahabat, kebenciannya pada keluarganya, dan rasa dendam yang terus dipendam. Namun, semakin ia melihat semua itu, semakin ia sadar, bukan dunia yang salah---dirinyalah yang selama ini terjebak dalam perang batin yang tak berujung.

Malam semakin larut, tetapi di dalam diri Bayu, pertempuran terbesar baru saja dimulai. Ia berjuang antara dua pilihan: tetap tenggelam dalam kebenciannya atau mencoba melawan amarah yang telah merasuki hidupnya selama bertahun-tahun.

"Aku tak bisa," bisiknya. "Ini terlalu sulit..."

Namun, suara itu tetap ada.

"Ngudia meneb dimen bening. Sinaua kanggo ening..."

Bayu membuka matanya. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Amarah yang tadinya terasa membara mulai sirna, digantikan oleh keinginan untuk mencari ketenangan. Seakan suaranya sendiri berkata bahwa hanya dengan mengendalikan emosi, dia bisa memahami arti hidup yang sesungguhnya.

Ia duduk kembali, kali ini tidak dengan kepala penuh gejolak, tetapi dengan niat untuk berdiam. Untuk pertama kalinya, Bayu merasakan apa yang disebut kakeknya sebagai Sinau Ening---belajar menemukan ketenangan di tengah badai. Sebuah pelajaran hidup yang tidak akan diajarkan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.

Waktu berlalu, dan dalam keheningan itu, Bayu mulai menyadari bahwa kemarahan, dendam, dan ketidakpuasan hanyalah bayangan yang dia ciptakan sendiri. Dunia tidak pernah berniat menyakitinya. Dia yang selama ini menuding orang lain, mencari kesalahan di luar, tanpa pernah menatap ke dalam.

Dengan napas yang lebih tenang, Bayu akhirnya mengerti. Tidak ada yang bisa merenggut kebahagiaan sejati kecuali dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa memenjarakan pikirannya kecuali pilihannya untuk tetap hidup dalam amarah.

Ia menatap ke arah jendela yang menghadap ke langit malam. Bintang-bintang terlihat lebih terang dari sebelumnya. Mungkin bukan karena bintang itu lebih cerah, tetapi karena untuk pertama kalinya, Bayu melihatnya dengan hati yang lebih tenang.

"Dadia wicaksana, ngipuk thukule 'rasa rumangsa'..."

Bayu tersenyum tipis. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Tetapi kali ini, dia sudah siap. Siap untuk menantang dunia tanpa perlu membawa beban amarah dan dendam. Dia sudah belajar untuk menjadi ening.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun