OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, di bawah langit yang tak berawan, Amir menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas kepala. Di balik ketenangannya, pikirannya melompat-lompat antara konsep kebertuhanan dan manusia. Sejak kecil, Amir selalu merasa ada yang aneh dalam dirinya---sebuah dorongan kuat untuk mencari Tuhan di tempat-tempat yang tak lazim. Bukan hanya di masjid atau kitab suci, tetapi di sudut-sudut yang lebih gelap, di pertanyaan yang tak terjawab oleh mereka yang sudah puas dengan dogma.
Amir bukan anak yang lahir dari keluarga religius. Kedua orang tuanya agnostik, meskipun tak menghalanginya untuk mencari kebenaran dalam agama. Di sekolah, ia berteman dengan berbagai kelompok: ada yang taat, ada yang skeptis, bahkan ada yang terang-terangan tak percaya Tuhan. Amir selalu merasa terhimpit di antara mereka.
Satu malam, setelah diskusi panjang dengan teman-temannya tentang eksistensi Tuhan, Amir kembali merenungkan apa yang selalu menjadi pertanyaan batinnya. Jika Tuhan memang ada, di manakah jejak-Nya? Mengapa manusia seakan dibiarkan bertanya-tanya dalam kabut kebingungan ini? Amir teringat satu kutipan dari Nourman Vincent yang pernah ia baca: "Manusia memiliki titik kebertuhanan yang tak dimiliki oleh makhluk lain." Sebuah frasa yang terus menghantuinya.
"Dialah yang melukis kalian di dalam rahim sesuai kehendak-Nya," gumam Amir, mengutip salah satu ayat yang pernah ia dengar dari seorang guru agama. Kata "melukis" itu terasa seperti metafora yang dalam, bukan sekadar aksi meletakkan cat di atas kanvas. Ada sesuatu di balik kata itu. Seolah Tuhan menandatangani setiap jiwa manusia seperti seniman menyelesaikan sebuah mahakarya.
Namun, semakin Amir mendalami pertanyaan ini, semakin banyak konflik yang muncul dalam dirinya. Ia melihat sekelilingnya---di mana manusia berlomba-lomba membenamkan diri dalam perdebatan tentang Tuhan. Sebagian meyakini Tuhan dengan penuh keyakinan, sementara yang lain menolak atau bahkan menantang-Nya. Namun, yang membuat Amir semakin gelisah adalah bagaimana mereka---manusia---seringkali memperlakukan satu sama lain dengan buruk, meskipun semua sama-sama memiliki "tanda tangan" Tuhan.
Suatu hari, Amir bertemu dengan seorang guru tafsir bernama Kiai Malik. Di tengah pelajaran tafsir, Kiai Malik mengutip ayat dari Al-Qur'an: "Sibghatallah, waman ahsanu minallahi sibghah?" Ayat itu berarti "Baptisan Allah, dan siapa yang lebih baik daripada Allah dalam memberi baptisan?"
Amir tertegun. Baptisan? Bukankah itu praktik keagamaan Kristen? Mengapa kata "sibghat" diterjemahkan sebagai baptisan?
Kiai Malik melanjutkan, "Dalam beberapa tafsir, kata 'sibghat' ini diartikan sebagai 'celupan' atau 'benaman.' Namun, jika kita lihat dari sisi lain, ini bisa dipahami sebagai 'pembaptisan'---sebuah simbol penyucian, peralihan dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih suci."
Pikiran Amir kembali bergejolak. Apakah ini artinya setiap manusia, terlepas dari latar belakangnya, mengalami semacam "baptisan" dari Tuhan? Sebuah benaman ke dalam keberadaan ilahi yang memberi setiap individu tanda ketuhanan, walaupun mereka tak menyadarinya?