Setelah pelajaran itu, Amir berbicara dengan Kiai Malik. "Jadi, setiap manusia punya bagian Tuhan di dalam dirinya, Kiai?" tanyanya.
Kiai Malik tersenyum, "Bukan sekadar bagian, tapi manusia dibentuk dengan cetakan Tuhan. Setiap jiwa adalah sebuah lukisan yang Tuhan bubuhkan tanda tangan-Nya. Masalahnya adalah, tidak semua orang mampu melihat tanda tangan itu. Mereka lebih sibuk melihat perbedaan warna dan bentuk lukisan, ketimbang menyadari bahwa semuanya berasal dari seniman yang sama."
Amir merasa sedikit tercerahkan, namun pertanyaannya belum terjawab sepenuhnya. "Tapi, Kiai, mengapa begitu banyak orang yang membenci satu sama lain hanya karena mereka berbeda dalam cara memahami Tuhan?"
Kiai Malik terdiam sejenak sebelum menjawab, "Itu adalah salah satu ironi terbesar umat manusia. Kita semua punya 'tanda tangan' Tuhan dalam diri kita, tapi kita terlalu sering terjebak dalam perdebatan tentang siapa yang paling benar dalam menggambarkan Tuhan. Sebenarnya, semuanya kembali kepada ego kita, ketakutan bahwa pandangan kita bisa saja salah."
Amir mulai melihat sesuatu yang lebih mendalam. Bukan soal siapa yang paling benar atau salah dalam memahami Tuhan, tapi bagaimana setiap manusia adalah makhluk yang "dibaptis" oleh Tuhan dalam cara-Nya sendiri. Baptisan ini bukan sekadar tentang air atau ritual, melainkan sebuah realitas spiritual bahwa setiap individu telah dicelupkan ke dalam rahmat ilahi sejak awal penciptaan.
Namun, dunia tidak sesederhana itu. Ketika Amir mencoba menerapkan pemahaman ini dalam kehidupan sehari-hari, ia sering berhadapan dengan tembok besar berupa kebencian, perbedaan pandangan, dan pertentangan. Salah satu temannya yang ateis, Bima, kerap kali mengejeknya karena terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang menurutnya "abstrak" dan "tak perlu."
"Kenapa sih, Mir? Kamu terlalu dalam merenungkan sesuatu yang nggak nyata. Lihat aja dunia ini. Orang-orang sibuk cari makan, bukan cari Tuhan," ujar Bima suatu malam.
Amir hanya tersenyum. "Mungkin. Tapi, tanpa kita sadari, kita semua sebenarnya mencari Tuhan, meskipun dengan cara yang berbeda."
Pada titik ini, Amir sadar bahwa perjalanannya masih panjang. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan, tentang tanda tangan ilahi, tentang keberpihakan Tuhan pada manusia---semuanya masih akan terus mengalir dalam benaknya. Tapi satu hal yang pasti, Tuhan telah memberikan setiap manusia naluri kebertuhanan sejak awal, meskipun mereka seringkali lupa atau menolaknya.
Tanda tangan Tuhan ada di setiap jiwa---baik atau buruk, beriman atau tidak, semuanya memiliki bagian dari Yang Maha Esa. Dan itulah yang membuat manusia begitu unik, begitu istimewa di antara semua ciptaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H