OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kota kecil, dua sahabat, Amir dan Dila, terjebak dalam pertentangan ideologis yang mendalam. Amir adalah seorang aktivis yang menggerakkan kampanye cinta sesama manusia dan pengabdian kepada masyarakat. Dila, di sisi lain, lebih skeptis; dia percaya bahwa kebencian dan persaingan adalah bagian dari kehidupan, terutama dalam dunia yang semakin kompetitif.
Suatu hari, Amir mengajak Dila untuk bergabung dalam program sukarela yang akan membantu anak-anak kurang mampu. "Dila, kita bisa membuat perubahan! Setiap anak berhak mendapatkan cinta dan perhatian. Ini bagian dari nilai Pancasila yang kita junjung," katanya dengan semangat.
Dila hanya menggelengkan kepala. "Amir, dunia ini tidak seindah itu. Cinta itu indah, tapi kita harus realistis. Bagaimana jika semua usaha kita sia-sia? Lebih baik kita fokus pada diri sendiri. Cinta hanya akan membuat kita lemah."
Amir merasa frustasi. "Dila, cinta itu kekuatan! Ajaran agama sebagaimana dijamin oleh sila ke-1 Pancasila mengatakan kita harus mencintai sesama seperti kita mencintai diri sendiri. Kita tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri di dunia yang penuh penderitaan ini!"
Diskusi mereka semakin memanas, dan tanpa sadar, ketegangan di antara mereka semakin meningkat. Suatu malam, dalam sebuah pertemuan komunitas, Amir berpidato dengan penuh semangat. "Kita harus bersatu untuk mencintai sesama! Setiap tindakan kecil kita bisa membawa perubahan besar. Mari kita mulai dari sekarang!"
Dila, yang duduk di barisan belakang, tidak bisa menahan diri. Ia berdiri dan berteriak, "Amir, cukup! Semua ini omong kosong. Dunia tidak akan berubah hanya dengan cinta! Kita perlu kekuatan, bukan hanya kata-kata manis!"
Suasana di ruangan itu mendadak hening. Semua mata tertuju pada Dila, yang tampak marah. Amir merasa dikhianati, tetapi ia berusaha untuk tenang. "Dila, cinta bukan hanya kata-kata. Cinta adalah tindakan. Kita harus memberi contoh kepada orang lain tentang bagaimana mencintai dan menghormati satu sama lain."
Dila menatap Amir dengan tatapan tajam. "Contoh seperti apa? Apakah kamu tidak melihat bahwa banyak orang justru memanfaatkan kebaikanmu? Mereka tidak menghargainya, dan kita akan terluka karena memberi terlalu banyak."
Ketika pertemuan berakhir, Amir merasa patah hati. Ia tidak mengerti mengapa Dila begitu skeptis. Ia kembali ke rumahnya dengan pikiran yang berat. Dalam hati, Amir berdoa, memohon petunjuk. "Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk terus berbuat baik meski ada yang menentang."