Lain dari soal penilaian berisik, mengganggu lingkungan, kurang intelek, tidak normatif atau apalah, ini debatebel.
Di persepsi saya, kayak-kayaknya, ia-lah berkorelasi dengan karambol (keberuntunan) efek samping dari event olahraga.
Ya. Olahraga, sebagaimana makna sederhananya ---suatu aktivitas yang dapat menyehatkan diri dari luar maupun dari dalam atau lebih dikenal dengan nama sehat jasmani rohani itu, bila bersentuh dengan pembisnis dan penghibur maka efek karambolnya, aduhai, sungguh luar biasa.
Tradisi cerita suskses penyelenggaraan event 4 tahunan Olympiade, Asian Games, PON, World Cup, dan event 2 tahunan Sea Games seperti kali ini, misalnya, adalah bukti nyata fenomena itu.
Efek adalah akibat. Sebagaimana obat, efek utamanya menyembuhkan, tapi ia juga memiliki efek samping.
Tak kurang, olahragapun demikian. Bahkan, terkadang justru efek sampingnya yang berkarambol dan menggelinding bak bola salju, melebihi pamor efek utamanya.
Bukan ‘sekedar’ menyehatkan, tapi pula menyangkut fenomena kegairahan para tetangga dan teman-teman saya itu, misalnya. Pun, bukan hanya linier pada garis efek postif saja, tapi juga mungkin negatif.
Pertanyaannya adalah mengapa dalam olahraga yang bernilai dasar sportifitas, efek-efek samping itu bisa terjadi?
Ya. Pada awal-awal perlu dijelaskan bahwa sejatinya, aktivitas sehari-hari kita selama ini ini dan sekarang inipun tanpa disadari itu sudah merupakan aktivitas berolahraga. Akan tetapi, karena determinasi bisnis, maka acapkali olahraga harus dikonsepsikan sebagai aktivitas fisik yang dilembagakan.
Argumentasinya, pertama, olahraga memerlukan aktivitas fisik dalam bentuk keahlian, keberanian dan pengerahan tenaga. Kedua, olahraga melibatkan persaingan berdasarkan seperangkat aturan resmi (Vic. Duke, University of Salford).
Dalam konteks konsepsi ini, kajian sosiologi olahraga (sociology of sport) berkembang dalam dua angel yang bersifat diametral. Namun dalam tataran empirik, keduanya justru sama-sama aktual dalam fenomena kekinian.