Setelah mendengar dan memahami penolakan Waskito Prabu Mengkuwaseso berganti wicara dengan Patih Wiro.
“Rekyana Patih Wiro… Kita memahami permintaan Waskito yang demikian… Maka laksanakan seremoni perintah-perintah saya… Bahwa pada hari wisuda ini saya tetapkan, anak saya Pangeran Sancoyo menggantikan kedudukan saya sebagai raja Pandhawan…!”
Selesai bersabda penting demikian, Prabu Mengkuwaseso turun dari singgasana, menyerahkan keris yang dikenakannya kepada Patih Wiro. Sementara Permaisuri ikut berdiri mendampingi Prabu Mengkuwaseso.
Setelah mengangkat sembah dan menerima keris, Patih Wiro berdiri menghunus bilah keris, kemudian diangkat tegak lurus di depan jidatnya sembari berucap, “Jelas perintah Tuan Prabu Mengkuwaseso…! Demi untuk menjaga keberlangsungan, keselamatan dan kesejahteraan kerajaan Pandhawan, Yang Mulia Tuan Prabu Mengkuwaseso berkenan turun tahta… Mengingat dan menimbang, berdasarkan wewenang dan kebijaksanaan…, maka Kanjeng Pangeran Sancoyo ditetapkan, dilantik menjadi Raja di Pandhawan, dengan anugerah gelar Prabu Sancoyo...!”.
Puncak upacara penobatan raja tersebut langsung disambut suara gamelan yang bertabuh bertalu-talu, ditingkah gegap gempitanya sorak-sorai para punggawa kerajaan.
Pangeran Sancoyo bangkit, berdiri, mengenakan keris yang dipersembahkan Prabu Sepuh (mantan raja) Mengkuwaseso melalui Patih Wiro. Lalu mengangkat sembah hormat kepada Prabu Sepuh Mengkuwaseso dan Permaisuri Sepuh Ajengastuti serta sembah hormat pada singgasana, tanda memuliakan sibul kerajaan, yang kemudian didudukinya.
Sementara Patih Wiro mengangkat sembah hormat untuk kembali duduk. Dan, Prabu Sepuh Mengkuwaseso serta Permaisuri Sepu Ajengastuti berdiri mengapit Prabu Sancoyo.
“Tidak!... Tidak bisa!...”.
Kemunculan teriakan itu membelah kekhidmadan upacara penobatan raja Prabu Sancoyo.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H