Di lapangan (di kelas penulis) diketemukan bahwa tingkat ketuntasa klasikal pembelajaran sejarah pada KD-KD awal menunjukkan grafik yang juga rendah, yakni tidak lebih dari 55%.
Dan, setelah diadakan studi awal ternyata bahwa pembelajaran sejarah yang bermenu-saji materi yang mayoritas bersifat kronikal (hafalan “hal-hal kadaluwarsa”. Berupa fakta-fakta dan tahun-tahun sejarah tersebut) dengan metode ceramah saja. Pada umumnya menjadikan siswa borring dan pembelajaran sejarah jauh dari criteria bermakna.
Adalah tuntutan standar kompetensi dalam perspektif dikdaktik-metodik guru harus mampu menyederhanakan hal yang rumit, sulit, dan terlalu luas. dan kurang bermakna menjadi simple, menarik dan bisa dicerna siswa serta diupayakan lebih bermakna.
Oleh karenanya dominasi metode ceramah dalam pembelajaran sejarah perlu direduksi dengan variasi (ceramah bervariasi). Bahkan kalau perlu ceramah hanya sebagai metode pengantar saja.
Atas pertimbangan-pertimbangan latarbelakang demikian penulis memutuskan untuk melakukan tindakan kelas dengan menggunakan metode MTW (Modelling the Way).
Apakah itu MTW?
MTW ditokohi oleh Silberman. Pada dasarnya MTW merupakan pengembangan dari metode bermain peran yang notabene juga merupakan model pembelajaran berbasis cooperative learning yang menuntut siswa untuk bisa bekerjasama dalam kelompoknya dalam melaksanakan demonstrasi peragaan materi pelajaran yang telah diajarkan (Silberman, 2009: 223).
Cara kerja MTW sebagai berikut, pertama, setelah melakukan pembelajaran satu topik tertentu, guru mencari satu subtopik yang menuntut siswa untuk mencoba atau mempraktikkan keterampilan yang baru diterangkan oleh guru. Kedua, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil sesuai dengan jumlah mereka. Kelompok ini akan mendemonstrasikan keterampilan tertentu sesuai dengan skenario yang telah dibuat.
Kemudian, ketiga, siswa diberi waktu 10-15 menit untuk membuat skenario kerja. Selanjutnya, keempat, siswa diberi waktu 5-7 menit untuk berlatih memperagakan keterampilan tersebut.
Kelima, secara bergiliran tiap kelompok diminta mendemonstrasikan kerja masing-masing. Keenam, setelah selesai, guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan masukan. Dan, yang terakhir, ketujuh, guru memberi penjelasan secukupnya untuk mengklarifikasi pembelajaran yang telah dilakukan dengan MTW (Agus Suprijono (2010: 115).
Dengan performa yang demikian secara teoritik, MTW memiliki kemistri yang sangat tepat dengan karakteristik pembelajaran sejarah dan sekaligus juga karakteristik siswa SD. Sebagaimana dimaklumi bahwa anak SD cenderung lebih suka bermain, bergerak, bekerja kelompak, mengalami atau merasakan langsung. Dan, secara psikologi, mereka sedang berada pada tahap perkembangan operasional konkrit.