Oleh: Khoeri Abdul Muid
“Kontroversi hati” ---suatu istilah populer saat meledaknya fenomena Vikky Prasetyo-Saskia Gotik, ternyata selalu mungkin menghampiri berbagai momentum.
Adalah kakak dari sahabat saya, menjadi Polisi di Mabes bagian satwa dengan spesialis sebagai pelatih anjing. Orang awam pada umumnya melihatnya sebagai kontroversi hati, karena ia seorang muslim. Sebab, syariat Islam mengharamkan memelihara anjing, yang najis (air liur)-nya itu, dikecualikan dalam hal ini jika memelihara bertujuan untuk berburu, menjaga ternak dan menjaga pertanian.
Toh, pada akhirnya, kontroversi hati ini terhenti oleh keyakinan bahwa pemeliharaan anjing untuk keamanan negara sebagai qias syah dari bertujuan untuk berburu, menjaga ternak dan menjaga pertanian itu. Sementara, Islam juga memberikan protap elegan 7X pen-sucian najis mugholadhoh (besar), di samping kaus tangan dan pakaian khusus sebagai antisipasi, tentunya.
Ada lagi kontroversi hati itu.
Hari-hari ini, lanjut ceritera sahabat saya, kakaknya juga mendapat tugas pembantuan menjadi Tim SAR banjir Jakarta . Sering. Ketika harus menunggu jemputan perahu karet bersama korban yang hendak dievakuasi di atas atap yang tidak memungkinkannya sama sekali untuk mengambil air wudhu. Dan, saat itu bersamaan dengan limit waktu sholat maghrib yang hampir habis. Ia-pun darurat ber-tayammum dengan sisa debu genting-genting di tengah-tengah derasnya arus banjir di bawahnya, untuk sholat “hormat waktu”.
Atau, ketika dalam limit waktu sholat yang lain, ketika suatu saat ia harus “berendam-rendam” mengais-ngais bahan berharga korban, terpaksalah ia harus melakukan tahapan berwudhu secara jamak (bersamaan) untuk syarat syahnya sholat “hormat waktu” itu.
Padahal? Rukunnya meliputi: niat, membasuh muka, membasuh tangan hingga siku, mengusap kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, tertib/berurutan. Bagaimana bisa berurutan kalau posisinya hampir semua titik sasar air wudhu terendam bersama-sama? Kata sahabat saya, kakaknya-pun mengeksekusinya dengan cukup meng-iktikadkannya berurutan saja.
Yap. Itulah kuliah hukum yang berinspirasi dari peristiwa alam banjir.
Sebuah “kontroversi hati” dalam hukum Islam yang teratasi secara syah pula tanpa menabrak hakikat hukum asalnya.
Pun demikian, seharusnyalah dalam hukum positif negara. Ketegasan sebagai sifat hukum tetap perlu dijaga. Tapi kearifan hukum yang tetap menjunjung keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai tujuan hukum, perlu juga mendapatkan tempatnya, tanpa berkontroversi, apalagi berkonfrontasi versus hakikat dasar hukumnya. Yap!***
Penulis adalah aktivis edukasia di segitiga perbatasan Blora-Pati-Rembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H