OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pada 18 Desember 2013 yang lalu, setelah melalui proses kelahiran (asbabunnuzul) yang nafsu amat, ---karenadi-pressure (dikawal) habis-habisan oleh gelombang sporadis dan simultan demo terorganisir para aparatur desa dari berbagai penjuru Tanah Air selama bertahun-tahun hingga seolah mencapai “titik-didih”, maka disyahkanlah Undang Undang Tentang Desa (UU Desa).
ADA APA DENGAN UU DESA?
Aksen magnetis pada UU ini adalah pertama, adanya distribusi lebih nyata atas roti-roti kekuasaan hingga struktur terendah pada pemerintahan di Republik ini, yakni dengan dialokasikannya dana APBN yang relatif besar hingga mencapai 1, 4 M Rupiah per tahunnya kepada tiap-tiap desa.
Kedua, ada pembesaran peluang bagi para in-cumbent untuk semakin mengularkan (bukan kediktatoran) kekuasaannya dengan dibolehkannya seseorang menjabat Kepala Desa selama 3 periode, baik berturut-turut ataupun tidak, dengan durasi 6 tahun per periodenya.
Tidak dipungkiri, bahwa dua hal ini membuka pelbagai probabilitas bagi rupa implementasi UU ini beserta efek-efeknya baik positif maupun negatif, termasuk di dalamnya menyangkut masa depannya, apakah akan mendapat apresiasi dan daya dukung riil (legitimasi) rakyat atau tidak, lantaran pada awal kelahirannya saja telah di-“waspadai” sebagai agent sosialisasi korupsi --- sekalipun hal ini baru adapada tataran analisa belaka.
KEKHAWATIRAN
Pertama, dengan kelahiran UU ini, Pilkades makin tampak seksi dan karenanya peluang konflik makin bertambah. Antisipasinya ialah sebisa mungkin potensi konflik dalam Pilkades diminimalisir atau bahkan dinihilkan. Akan tetapi toh jika terjadi konflik, maka konflik Pilkades perlu dipandang sebagai awal perubahan menuju kebaikan. Toh, secara alami pada saatnya akan menemui titik jenuhnya dan keadaan akan menjadi damai kembali.
Kedua, UU ini juga membuka peluang terjadinya koropsi yang makin “merakyat”. Bahwa UU ini merupakan legalisasi distribusi roti kekuasaan hingga struktur terendah pada pemerintahan di Republik ini. Akan tetapi masalahnya adalah perut siapa yang bakal paling dikenyangkan oleh roti ini?
Jika roti kekuasaan itu dianalogikan sebagai supplemen, efekutama yang diharapkan tentunya mensejahterakan rakyat. Jelasnya, ibarat upaya penguatan anatomi tubuh, UU ini bagaikan treatment obat atau suplemen promo dan berdosis tinggi. Dan, karenanya, memilikipeluang mencapai efek utama dan sekaligus mengalami efek samping yang sama-sama dahsyat.
Masalahnya adalah jika mengenyangkan perut rakyat pada umumnya, maka itu artinya efek utamanya mujarab. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, maka justru efek sampingnya yang kronis merajalela.
Sel darah putih di dalam anatomi desa memang ada. Misalnya saja sistem tata kelola dan kontrol serta kekuatan spiritual (iman) para steakholders UU ini termasuk di dalamnya rakyat dengan BPD sebagai wakilnya. Pertanyaannya adalah akankah mereka mampu membuat efek-efek samping tetap menjadi variabel yang relatif terukur dan terkontrol, sehingga tidak menjadi kekuatan jahat?
OPTIMISME
Pertanyaan skeptis tersebut sejatinya justru akan menjadi ‘lawan setimpal’ bagi para steakholders (pemangku kepentingan) UU ini untuk mengatakan, why not untuk membuktikan betapa UU Desa akan baik-baik saja. Karena di dalamnya ada mutiara yang terpendam, ialah 1). Otonomi nyata. 2). Lebih efektif dan efisiennya pembangunan. Dan, 3). Distribusi kekuasaan merupakan agent pengontrol penyalahgunaan kekuasaaan, yang justru akan mengurangi korupsi itu sendiri.
Bagaimana?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H