Oleh: Khoeri Abdul Muid
Adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melepas kewenangan atas SD/MI, (SMP/MTs), SMK/SMA/MA.
Kemendikbud lebih baik fokus mengurusi Perguruan Tinggi. Adapun SD/MI diusulkan Ganjar agar penanganannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Ia yakin hal ini akan menghasilkan lulusan yang lebih baik.
“Pusat tak perlu lagi mengurus SMA dan SMK. Serahkan saja kepada Provinsi sekalian dengan anggarannya. Saya yakin SMK(/SMA) diJawa Tengah bisa juara”, kata Ganjar (Suara Merdeka: Edukasia, Selasa 21/1/2014).
Desentralisasi Sekolah?
Apakah usulan Ganjar itu merupakan desentralisasi urusan sekolah, dalam kerangka otonomi daerah mengenai urusan sekolah yang lepas APBN? Ataukah, hanya dalam konteks asas perbantuan, yang notabene anggarannya tetap dari APBN?
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Mencermati kalimat, “Serahkan saja kepada Provinsi sekalian dengan anggarannya”, sepertinya yang dimaksud Ganjar adalah pelaksanaan urusan berdasar atas asas otonomi, tetapi soal anggaran minta disuplai dari APBN ala asas perbantuan. Ini pola pemerintahan yang tidak lazim, kalau tidak disebut sebagai “enak’e dhewe” (enaknya sendiri).
Dan, bila demikian halnya maka sesungguhnya hampir tidak ada “semangat baru” atau substansi baru apapun dari usulan Ganjaritu terhadap pembangunan pendidikan di Tanah Air. Terkecuali justru akan membuka peluang baru bagi pendaerahan “main-main uang negara”, yang notabene anggaran pendidikan dalam hal main-main merupakan pos yang sangat seksi, mengingat besarannya yang minimal 20% dari APBN.
Peningkatan mutu pendidikan yang dijanjikan pada usulan Ganjar itu, oleh karena hanya faktor pergeseran penanganan dari pusat ke daerah model kolaborasi antara asas perbantuan dan otonomi itu saya rasa tidak terlalu signifikan.
Bahwa, prakarsa daerah dan kearifan lokal yang makin hidup, barangkali merupakan kelebihan dari usulan itu. Tapi, faktor pengedepanan anggaran ---“Serahkan saja kepada Provinsi sekalian dengan anggarannya”---saya kira hal yang perlu disikapi secara skeptis, alias hati-hati.
Sebab apa? Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Dan, tentu, lebih baik kita semua untuk menghindari “godaan” maksiyat (pornografi) anggaran, sebelum benar-benar terjerat mezinainya. Hidup, Pak Ganjar, Gubernur Muda-ku!***
Penulis adalah Aktivis Edukasi di segitiga perbatasan Blora-Pati-Rembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H