OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sebagaimana diwacanakan oleh banyak pihak dan juga beberapa KPUD di beberapa daerah bahwa perlu adanya larangan bagi pemilih membawa hp berkamera dan atau kamera di dalam bilik pemungutan suara guna mencegah praktik money politic bermodus pasca-bayar dan juga demi menjaga asas kerahasiaan dalam pemilu. Diargumentasikan bahwa dengan media hp berkamera dan atau kamera pemilih dimungkinkan ber-selfie dengan coblosannya sebagai bukti pilihannya kepada pihak yang akan menggantinya dengan uang.
"Kami melarang seluruh pemilih membawa telepon genggam yang dilengkapi dengan fasilitas kamera pada saat melakukan pencoblosan di bilik suara untuk mengantisipasi terjadinya transaksional antara pemilih dan caleg yang dicoblosnya setelah selesai melakukan pencoblosan," kata Ketua KPU Kabupaten Bangka Zulkarnain di Sungailiat, (Bisnis.com, 2/4).
Ketua KPU Kendal Wahidin Said melalui Divisi Pemungutan dan Penghitungan Suara, Fahroji mengatakan, larangan membawa kamera berdasarkan peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2013 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2014 tentang pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Pemilih yang membawa barang elektronik tersebut supaya menitipkannya kepada petugas KPPS sebelum masuk ke dalam bilik suara.(SM, 7/4).
Senada dengan Ketua KPU Kabupaten Bangka dan Kendal, Ketua KPU Dumai, Darwis juga melarang pemilih membawa telepon genggam, kamera dan alat perekam lainnya ke bilik suara dengan menyebut bahwa hal itu sesuai dengan peraturan KPU Nomor 5 tahun 2014 tentang perubahan atas PKPU Nomor 26 tahun 2013 tentang pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara dalam pemilu legislatif pada poin (d).
Namun statemen KPU Dumai itu buru-buru diluruskan oleh Ketua KPU Riau, Nurhamin bahwa pemilih boleh membawa telepon genggam dan kamera ke bilik suara, bahkan disarankan mempublikasikan hasil perhitungan suara. Ia mengatakan, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur larangan pemilih membawa peralatan publikasi ke bilik suara, kecuali alat yang sifatnya berbahaya seperti pisau dan lainnya (Suluhriau 7/4).
Wacana pelarangan itu juga mendapat dukungan dari beberapa LSM Pemilu. ”Kami dukung pelarangan membawa ponsel tersebut, karena kami melihat dengan ponsel bisa saja terjadi aktivitas 'selfie' pemilih dengan surat suaranya. Atau cara-cara lain yang bisa untuk mendukung transaksi pasca bayar,” kata Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi, dalam dalam acara launcing pengawasan Pemilu 2014 oleh Koalisi Masyarakat Sipil, di Jakarta, Senin (7/4) kemarin (SM, 8/4).
TIDAK ADA ATURAN YANG MELARANG
Namun hingga saat ini sebagaimana koreksi Ketua KPU Riau Nurhamin ternyata setelah saya telaah, memang tidak ada ---bahkan poin (d) sebagaimana dicatut Ketua KPU Dumai, dalam Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2014 tentang perubahan atas Peraturan KPU Nomor 26 tahun 2013 yang mengatur pelarangan tersebut.
Hingga H-1 ini KPU belum atau tidak menerbitkan aturan pelarangan bawa HP berkamera dan atau kamera di dalam bilik suara. Sehingga wacana pelarangan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Meski rasional dan tujuannya baik karena tanpa dasar hukum maka justru pelarangan tersebut berpeluang untuk dipersoalkan secara hukum. Pertanyaannya adalah mungkinkah pelarangan itu menggunakan analogi HP berkamera dan atau kamera sebagai alat yang sifatnya berbahaya sebagaimana pisau dan lainnya? Dan, secara praktis, jikapun ada dasar hukumnya, bagaimana petugas KPPS yang jumlahnya 7 plus tenaga keamanan itu akan mampu mengimplementasikannya?
"Itu teknisnya sulit sekali dan akan crowded. Belum lagi pada saat pengambilan HP, bagaimana kalau nanti (malah ketukar-tukar) ada yang ambil HP-nya lebih bagus? Dalam satu TPS kan paling nggak ada 25 orang yang mengantre. Nah 25 HP dititipkan itu bagaimana keamananya, malah memperumit," sebagaimana tutur Sumarno Ketua Pokja Sosialisasi Pemungutan dan Penghitungan Suara KPU DKI Jakarta pada pewacanaan pelarangan HP tersebut pada Pilkada DKI beberapa tahun yang lalu (detikNews.9/7/2012).
Bila demikian halnya maka solusi praktis pada kuatnya saran dan wacana atas pelarangan tersebut saya rasa hal yang paling mungkin dilakukan oleh KPPS sebagai eksekutor pelaksana pemilu di level akar rumput sepatutnya bergerak ditingkat HIMBAUAN moral. Sehingga sangsinya paling benter juga berupa sangsi moral “saja”. Hmm.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H