OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pada kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla, memanfaatkan terpilihnya Hatta Rajasa sebagai cawapres Prabowo Subianto dengan mengakronimkannya sebagai PRAHARAyang artinya angin ribut; angin topan; atau badai ---barangkali sebagai media penyudutan kompetitor.
Sementara itu, kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menanggapi hal tersebut sebagai black campaign atau bahkan sebagai pencemaran nama baik.
Terlepas dari itu, apa sebenarnya akronim itu? Dan, bagaimana prosedurnya?
Pedoman pembentukan singkatan dan akronim diatur dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198, tanggal 9 September 1987 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).
Akronim didefinisikan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
Dalam pembentukan akronim, hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut.
- Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
- Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Selain itu, jika diteliti lebih lanjut, jumlah dan posisi pengambilan suku kata atau huruf dalam pengakroniman ternyata boleh-boleh saja tidak konsisten, tetapi yang perlu diperhatikan ialah bahwa setiap unsur kata harus terwakili.
Di samping itu, jumlah suku kata yang diambil dalam satu akronim sekalipun, ternyata juga boleh tidak konsisten (tidak harus sama jumlahnya), misalnya pada akronim Pemilu (Pemilihan Umum), yang mana kata pemilihan diambil 2 suku kata, yakni suku kata awal: pe- dan suku kata tengah –mil-. Sementara akronim kata umum diambil hanya 1 huruf saja, yaitu huruf awal U-.
Kemudian contoh genre lain, tilang (bukti pelanggaran) -ti diambil dari 1 suku kata yang terletak di akhir dari kata bukti dan –lang- diambil dari 1 suku kata yang terletak di bagian tengah dari kata pelanggaran. Namun, perhatikan, dua kata yang diakronimkan tersebut juga terwakili.
Yup. Keterwakilan setiap kata itu wajib hukumnya dalam pembuatan akronim, bahkan hingga yang hampir berupa singkatan sekalipun. Misalnya, Sespa (Sekolah Staf Pimpinan Administrasi). Kata sekolah diwakili oleh suku kata Se-, kemudian kata staf pimpinan administrasi diwakili oleh huruf-huruf S-; P; A.
Dalam hal ini lihat pula akronim: Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia).
Perhatikan contoh yang lain, yakni akronim yang relatif konsisten pada posisi dan jumlah suku kata yang diambil, yakni pada akronim: Pramuka (Praja Muda Karana), rapim (rapat pimpinan), namun, lagi-lagi, semuanya sangat memperhatikan keterwakilan kata yang diakronimkan.
Kemudian, bagaimana dengan akronim PRAHARA?
Akronim PRAHARA dimaksudkan untuk nama diri pasangan PRABOWO SUBIANTO – HATTA RAJASA. Pra dimaksudkan sebagai akronim dari Prabowo dan HARA= Hatta Rajasa.
Bila dikaitkan dengan SOP pembuatan akronim EYD di atas, jelas pengakroniman PRABOWO SUBIANTO – HATTA RAJASA dengan PRAHARA adalah salah. Karena dengan demikian akronim PRAHARA itu tidak mewakili setiap kata yang diakronimkan, yakni melupakan kata nama diri SUBIANTO.
Mestinya, kalau mau konsisten dengan posisi dan jumlah suku kata yang diambil serta faktor keterwakilan tersebut, akronimnya ialah PRASUHARA, atau bisa ambil pengakroniman dengan genre yang lain.
Demikian. Salam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H