OLEH: Khoeri Abdul Muid
Besok pagi Selasa, 22 Juli 2014, setelah KPU menetapkan pemenang Pilpres maka terlahirlah Presiden dan Wakil Presiden de facto BARU.
Dan, berbarengan dengan itu, terlahirlah pula kubu penguasa dan kubu oposisi, partai pemerintah dan partai oposisi, sebagai lanjutan logis dari kompetisi pemilu, ---terlepas dari kritik teoritik dalam konteks sistem pemerintahan presidensiil.
Yup. kelegowoan atau keikhlasan terutama bagi yang kalah, merupakan suatu keniscayaan dalam sebuah kompetisi.
Tapi hal itu tidak serta merta menghilangkan terlahirnya satu sisi sosok penguasa dan pada sisi lain sosok oposisi itu.
Pihak yang kalah masuk kandang partai oposisi. Dan, pihak yang menang, masuk istana serta kubu partai penguasa.
Tapi, itu yang terjadi di kalangan elite politik. Sehingga, pertanyaannya ialah apa yang terjadi di akar rumput atau para konstituent pasca penetapan itu? Haruskah mereka dibujuk-bujuk, didorong-dorong untuk juga legowo? Haruskah pula ada konstituent penguasa dan konstituent oposisi?
Yup. Legowo?
Soal legowo bagi orang kecil, nggak usah ditanya lagi dech. Kalaupun ada orang kecil yang sampai berdarah-darah membela-bela mati-matian dalam pemilu pastinya mereka hanyalah korban rayuan saja, kalee.
Toh, bagi mereka, begitu selesai menunaikan hak dan kewajibannya menyalurkan aspirasi pada 9 Juli 2014 lalu, maka ya sudah, mereka harus sibuk kembali pada konsentrasi ke khittah keseharian pekerjaannya masing-masing, demi dirinya, demi keluarganya.
Tapi bagaimana dengan sikap politik mereka sesungguhnya?
Yup. Bagi yang jagoannya menang, pastinya puas. Tapi bagi yang jawaranya kalah? Apakah mereka harus beroposisi dengan para konstituent pemenang yang notabene bisa-bisa dengan ayah, ibu, saudara, tetangga atau temannya sendiri, ataukah bahkan harus beroposisi dengan presiden terpilih? Wuih...
Bagi orang kecil, kalaupun harus didefinitifkan sebagai oposisi, maka barangkali oposisinya itu hanya sekedar sedikit kecewa saja ketika tahu kalau pada akhirnya kandidat pilihannya kalah.
Dan, setelah itu, maka merekapun pada umumnya akan segera melupakan hiruk-pikuk Pilpres itu, karena kerukunan antar tetangga, keluarga dan seterusnya itu, bagi mereka merupakan segala-galanya dan lebih utama dari pada sekedar pilihan politik.
Karena itulah, di sinilah sesungguhnya letak pentingnya fungsi aspek azaz kerahasiaan dalam pemilu. Ia ternyata menjadi media pengendalian diri yang akan meniadakan fenomena oposisi di kalangan orang kecil, yang pada gilirannya menjadi faktor penyumbang terbesar terwujudnya pemilu damai itu.
Demikian. Salam Pro-NKRI!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H