Komunikasi menjadi kemampuan dasar manusia dalam bersosialisasi terhadap manusia lainnya. Untuk memahamkan pengutaraan, komunikasi menggunakan berbagai bahasa yang dipahami oleh suatu populasi. Misalnya, penggunaan bahasa daerah di suatu suku tertentu. Â Dalam banyak daerah di Indonesia penggunaan bahasa daerah sehari-hari sangatlah biasa dan umum dijumpai.Â
Beberapa bahasa daerah, memiliki tingkatan tertentu yang ditujukan kepada lawan bicara untuk tetap memberi kesan mengayomi, menghormati, dan sopan santun melalui intonasi yang tepat, salah satunya yaitu bahasa jawa. Bahasa Jawa memiliki berbagai strata sesuai dengan kepada siapa kita berbincang. Namun, saya menemukan sebuah fenomena bagaimana kurangnya strata bahasa jawa ini digunakan oleh generasi muda kepada orang yang lebih tua.
Saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya, yang menjadikan saya berpikir dan mengobservasi bagaimana bisa etika berbahasa anak muda kepada orang yang lebih tua seperti ini? Suatu ketika saya berkunjung ke rumah kerabat di sebuah desa. Di daerah tersebut banyak dijumpai anak-anak, remaja, dan lansia.Â
Mereka biasa saling berkomunikasi menggunakan bahasa jawa. Hal ini tidaklah salah. Hal yang membuat saya terkejut adalah ketika seorang lansia bertanya pada anak-anak menggunakan bahasa jawa ngoko, si anak pun juga menjawab dengan ngoko. Alih-alih juga menatap lawan bicaranya dan menggunakan nada yang rendah karena malu tidak bisa menjawab dengan krama, si anak menjawab sambil angin lalu saja. Tidak jarang juga anak dan remaja berbicara ngoko dengan orang tuanya dengan nada "sengal sengol" atau emosi. Â Banyak poin yang hilang saat anak-anak dan remaja tidak beretika saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.Â
Pertama, adalah tidak menggunakan bahasa yang seharusnya ditujukan oleh orang yang lebih tua, yaitu krama. Kedua, tidak memperhatikan lawan bicaranya sebagai bentuk sopan santun. Ketiga, tidak menunjukkan rasa ewuh pekiwuh menjawab dengan bahasa ngoko.
Kemudian ketika pulang dari bepergian, saya pikirkan apa penyebab masalah ini? Orang tua adalah peran yang tidak bisa dilepaskan ketika membicarakan bagaimana perilaku seorang anak.Â
Tutur kata yang diucapkan orang tua sangatlah mempengaruhi etika berbahasa anak. Orang tua yang biasa tidak berbahasa krama dengan orang yang lebih tua, maka anak juga akan bertutur seperti itu terhadap orang yang lebih tua, seperti kakek, nenek, dan kerabat lainnya. Hal ini, mencerminkan bagaimana lingkungan membentuk etika berbahasa anak.
Ketika ditemukan kesalahan berbahasa kepada orang lain, bagaimana reaksi dan aksi orang tua yang mendengarnya? Ini pun menjadi hal yang perlu diperhatikan. Jika orang tua tidak muncul reaksi apapun ketika melihat anak tidak tepat dalam berkomunikasi dengan yang lebih tua, maka tidak ada aksi yang bisa mencegah dan memahamkan anak bagaimana etika berbahasa yang baik.
Hal ini terus berlanjut, anak juga akan tumbuh menjadi orang tua yang lemah dalam bertutur kata kepada orang yang seharusnya dihormati. Nenek ataupun kakek akan biasa mendengarkan para cucu berkomunikasi tanpa etika. Maka, sebut saja permasalahan ini adalah sebuah mata rantai yang saling berikatan.
Sebagai pengamat, tidak patut mengkritik tanpa memberikan sebuah solusi.Â
Solusi ini diajarkan oleh salah satu keluarga, yang bisa dibilang anak anaknya memiliki etika komunikasi yang sopan walaupun menggunakan bahasa jawa. Mengajarkan sedari dini adalah kalimat klise yang sering dijumpai masyarakat. Namun, inilah yang sangat berpengaruh terhadap etika berbahasa anak. Saat kecil, orang tua mengajak anak berbicara menggunakan bahasa krama, lalu ketika beranjak remaja, orang tua berbicara bahasa jawa ngoko, dan anak menjadi berbahasa krama.Â
Kalaupun anak tidak mengetahui salah satu kata atau kalimat krama, ia akan mengutarakannya menggunakan bahasa jawa ngoko atau lugu namun dengan nada yang sopan.Â