Mohon tunggu...
Khairunnisatul Hikmah
Khairunnisatul Hikmah Mohon Tunggu... -

Student Communication Science at Sriwijaya University

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rezim Remisi Merusak Peradilan Publik di Indonesia

25 September 2016   21:44 Diperbarui: 25 September 2016   21:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terkait kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang suap dari Artalyta Suryani mendapatkan hukuman 20 tahun penjara. Kini menjadi perbincangan oleh publik di Indonesia. Apabila mengikuti rezim remisi saat ini, maka ia bisa bebas saat baru menjalani masa pemidanaan 8 tahun di penjara. Kira-kira adilkah seperti itu?

Kebijakan remisi yang didapatkan itu melalui keputusan presiden No 147 Tahun 1999 tentang Remisi. Di Keppers tersebut, nara pidana dalam satu tahun bisa mendapatkan banyak Remisi. Seperti remisi 17 Agustus, remisi hari raya dan remisi tambahan.

Hal diatas membuat salah satu ahli hukum Dr. Zainal Arifin Mochtar berkomentar bahwa Keppres No 147 Tahun 1999 terlalu banyak menampung model remisi. Dan beliau mengatakan bahwa hal itu perlu banyak ditinjau kembali. Hal itu disampaikan dalam focus group discussion (FGD) Road Map Penegakan Hukum Indonesia yang digelar Kemenkum di Hotel Rancamaya, Bogor, Jumat-Sabtu (23-24/9/2016). Hadir dalam pertemuan itu para pakar di bidangnya seperti, Prof Mahfud Md, Prof Muladi, Prof Yuliandri, Prof Hibnu Nugroho, Prof Adji Samekto, Zainal Arifin Moechtar, Prof Runtung Sitepu, dan Refly Harun. (sumber, 18:51).

Melihat kasus tersebut membuat publik menjadi krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum. Hal ini meyenggol tentang peradilan di Indonesia. Bagaimana tidak? Seseorang nara pidana terkait kasus suap atau korupsi mendapatkan rezim remisi pertahun sehingga hukuman 20 tahun penjara bisa menjadi 8 tahun penjara. Apakah hal ini layak diterima oleh seorang nara pidana terkait kasus korupsi? Perbuatan yang sangat keji tersebut malah dianggap enteng dimata penegak hukum. Bukan para penegak hukum saja yang seharusnya memperhatikan tapi pihak LP juga harus dinilai selektif untuk memberikan syarat kelakuan baik. Ngajarin ngaji atau apa semua bisa dikonversi jadi syarat mendapatkan remisi. Yang begini ini jangan-jangan di keppresnya harus dilihat terlebih dahulu.

Ada baiknya juga pemerintah segera merevisi Keppres No 147/1999 tersebut. Dengan pertimbangan FGD (Forum Group Disscuss) Zainal menilai pemerintah lebih penting merevisi Keppres Nomor 174/1999, daripada merevisi PP 99/2012. Setelah perdebatan berjalan cukup lama, di ujung FGD, forum menyetujui merevisi PP 99/2012 kecuali untuk terpidana korupsi.

Dengan hal ini diharapkan bahwa pemerintah bisa lebih adil dalam memberi remisi kepada nara pidana. Dan pihak LP pun harus lebih selektif dalam memberikan syarat untuk mendapatkan remisi. Orientasinya adalah yang terpenting bahwa berkelakuan baik itu penting . Remisi bukan hanya sekedar reward melainkan hak. Yang terpenting tetap pelaksanaannya lebih selektif.

Nama : Khairunnisatul Hikmah 

NIM : 07031381320027 

Jurusan : Ilmu Komunikasi  

Kelas : Pengantar Ilmu Politik (B) Palembang 

Dosen Pembimbing : Nur Aslamiah Suply, Biam, M.Sc 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun