Birokrasi Indonesia, baik di pusat maupun di daerah pada masa Orde Baru, kerap mendapat perhatian dan kritik tajam atas perilaku pegawai negeri yang tidak konsisten. Jadi selalu ada efek negatif dalam birokrasi. Birokrasi dinilai lambat, rumit, menghambat kemajuan, cenderung lebih mementingkan prosedur daripada keadaan yang sesungguhnya terjadi, dan tidak efisien.
Selama ini gambaran birokrasi kita belum baik. Citra dan efisiensi operasional aparatur administrasi masih perlu ditingkatkan. Masyarakat secara keseluruhan enggan berurusan dengan birokrasi. Birokrasi memiliki konsekuensi lebih dari citra negatif seperti buruknya kualitas pelayanan publik, KKN, cenderung memusatkan kekuasaan, kurangnya profesionalisme, kurangnya budaya dan etika yang baik. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa keadaan birokrasi pemerintah semakin mengkhawatirkan.
Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, kepercayaan publik terhadap birokrasi menurun. Krisis kepercayaan ini dibuktikan dengan banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat terhadap aparatur publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mengingat birokrasi merupakan sarana efektif untuk mempertahankan kekuasaan para pemimpin Orde Baru, krisis kepercayaan terhadap birokrasi dapat dimaklumi. Baik birokrasi sipil maupun militer, melihat diri mereka sebagai alat bagi penguasa daripada pejabat. Kepentingan pemimpin cenderung terfokus pada kehidupan dan tindakan pejabat publik. Â Â Â Â Â Â
Buruknya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu fakta yang menonjol bagi pejabat pemerintah yang melayani masyarakat. Peningkatan pelayanan publik pada masa reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun tidak ada perubahan besar dalam prosesnya. Masyarakat berpendapat bahwa berbagai jenis pelayanan publik justru terus mengalami penurunan. Hal ini antara lain ditandai dengan banyaknya kesalahan pelayanan publik tersebut. Masyarakat juga menekankan sistem dan prosedur pelayanan yang kompleks, serta lambannya sumber daya manusia yang terlibat dalam memberikan pelayanan.
Di sektor pelayanan publik, upaya telah dilakukan untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam rangka memberikan pelayanan yang cepat, akurat, hemat biaya dan mudah. Namun, upaya ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat dikarenakan penerapan sistem dan prosedur layanan yang tidak efisien, terlalu sulit, memakan waktu, dan tidak peka terhadap kepentingan publik. Itulah beberapa hal yang membuat birokrasi selalu dipandang negatif oleh masyarakat.
Pelayanan publik seringkali merupakan cara termudah bagi pemerintah untuk menjalankan fungsinya. Pelayanan publik merupakan salah satu fungsi utama pemerintah selain pengaturan, perlindungan, dan pemerataan. Pelayanan publik merupakan penunjuk sejauh mana fungsi pemerintahan yang sedang dan atau telah dijalankan. Ketidakpuasan terhadap pemberian pelayanan publik disebabkan oleh keengganan masyarakat untuk berhubungan dengan pejabat pemerintah, dengan kata lain mereka merasa ingin sebisa mungkin menghindari pejabat pemerintah dalam urusan bisnis.
Dalam pengelolaan pelayanan publik, orientasi kekuasaan yang sangat kuat pada masa Orde Baru menghilangkan aparatur administrasi dari misi memberikan pelayanan publik. Pejabat menetapkan diri mereka sebagai penguasa daripada pegawai negeri. Karena hal tersebut, sikap dan perilaku birokrasi dalam kinerja pelayanan publik dapat dikatakan telah mengabaikan pendapat dan kepentingan masyarakat.
Berkembangnya budaya nepotisme turut andil dalam kemunduran sistem birokrasi, mengingat kepentingan kelas politik dan pegawai negeri sebagai faktor dominan dalam pengelolaan pelayanan publik. Elit politik birokrasi atau kerabatnya, seringkali mendapat prioritas dalam pengelolaan pelayanan publik. Jalannya pelayanan publik seringkali bergantung pada kedekatan seseorang dengan para pejabat birokrasi dan politik. Maraknya KKN dalam kehidupan birokrasi semakin mengikis citra birokrasi di masyarakat. KKN tidak hanya mempersulit masyarakat untuk mengakses layanan birokrasi, tetapi juga membuat masyarakat membayar lebih untuk layanan yang diberikan oleh sektor/perusahaan swasta.
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas menunjukkan betapa rentannya kepercayaan dan legitimasi pemerintah dan pejabat di mata publik. Semua ini terjadi karena pemerintah dan birokrasi telah gagal memantapkan diri sebagai lembaga yang mampu membela serta memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Birokrasi semakin terpisah dari masyarakat akibat praktik KKN yang terjadi dalam kehidupan birokrasi. Orientasi kekuasaan membuat birokrasi semakin tidak peka terhadap kepentingan rakyat.
Birokrasi di Indonesia membuat masyarakat kecewa karena adanya politisasi dalam birokrasi. Kepentingan partai politik lebih penting daripada kepentingan memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Ternyata hal ini tidak terjadi di era pasca kemerdekaan. Para pejabat saat itu masih berjuang keras untuk nasib bangsa Indonesia yang sudah merdeka.Â
Mereka mengesampingkan kepentingan kelas dan pribadi. Namun, setelah era demokrasi parlementer, aparatur pemerintahan Indonesia mulai tercemar ketika memasukkan unsur kepentingan politik. Mereka mengutamakan kepentingan kelas, terutama partai politik, guna memperoleh kekuasaan birokrasi. Hal ini berlanjut hingga era Orde Baru dan Reformasi.