Mohon tunggu...
muhammad Khibran
muhammad Khibran Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum UGM 2008

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matahari Tenggelam di Barat Bulan Ngentak

7 Desember 2011   05:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prabu Joyo Slomonyo menduduki tahta kerajaan Bulak Ngentak selama bertahun-tahun, dan membawa negeri ke zaman keemasan. Kehidupan rakyatnya amat makmur. Tata tentrem karta raharja, Gemah ripah Loh jinawi, Tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku (Tertib damai senang dan selamat, Makmur dan subur tanahnya, Segala yang ditanam akan tumbuh subur, Segalanya dapat dibeli dengan harga murah) dapat tercapai dalam masa kepemimpinannya.



Bulak Ngentak dapat dikatakan sebagai negeri yang besar dan kuat pada zaman Prabu Joyo Slomonyo. Persahabatan dengan negara-negara sahabat seperti Dwaropodo, Cempili, Manduku dan lain-lain terjaga dengan baik. Banyak kerjasama yang dilakukan antara kerajaan Bulak Ngentak dengan Kerajaan-kerajan besar tersebut.

Bisa dikatakan, Sang Maharaja Joyo Slomonyo memerintah dengan adil dan mengikuti semua ajaran Wahyu. Keadaan kas kerajaan pun mencapai yang tertinggi sejak didirikannya Bulak Ngentak.

Akantetapi, ibarat matahari yang selamanya tidak akan berada pada suatu tempat, lama-lama akan surut juga. Demikian dengan matahari Bulak Ngentak, Sang Maharaj Prabu Joyo Slomonyo, yang akan mengalami masa surut juga. Hanya Yang Maha Esalah Yang Kekal dan Abadi, manusia tidak.

Prabu Joyo Slomonyo mempunyai Abdi Dalem yang bernama Siptopilin. Siptopilin adalah abdi dalem yang dianggap sebagai pandita dan penasehat Prabu Joyoslomonyo. Banyak nasehat-nasehat yang dipetuahkan Saptopilin kepada Maharaj.

Sebenarnya, Siptopilin adalah rengkarnasi dari Dewa “Taruno Wibowo”, seorang Dewa yang kesaktiannya sungguh luar biasa. Akantetapi, tidak banyak orang yang mengetahui akan hal tersebut, hanya orang-orang yang mempunyai ilmu kanuragan dan olah keprigelan yang hebat yang mengetahuinya.

Suatu Ketika, dipanggilah Siptopilin oleh Maharaj untuk menghadap. ”Mohon izin Maharaj, ada keperluan apa Maharaj memanggil hamba?”, ucap Siptopilin dengan membungkuk dan suara lirih.

Prabu Joyo Slomonyo termenung beberapa saat, sabdanya kemudian “Pukulun Saptopilin, apakah ada kewajiban dari rajamu ini yang belum kutunaikan?.

Saptopilin berpikir sejenak, “Sepertinya tidak ada yang belum dilakukan oleh Maharaj. Paduka sudah melakukan yang menjadi tanggung jawab Maharaj. Maharaj sudah membawa Bulak Ngentak ke puncak kejayaannya”, jawab Saptopilin dengan penuh hormat.

Giliran Maharaj yang termenung, sambil mengenang perjalanan hidupnya ketika menjadi Raja. "Pukulun, apakah yang sudah saya lakukan selama ini mendapat pahala dari Sang Hyang Widhi?. Lanjut Sang Prabu bertanya.

“Apa maksud paduka bertanya demikian?.” Tanya Saptopilin penasaran.

“Biar aku bisa tenang ketika meninggalkan dunia ini”. Jawab Maharaj dengan pelan.

“Maharaj, memang akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya Sang Hyang Widhi. Untuk itu maka kita harus terus, terus, terus dan terus selalu memohon kepada Sang Hyang Widhi, agar Kita diberi keikhlasan dalam menjalankan apa yang sudah kita lakukan. Manusia bisa berkehendak, macam-macam Tuhan yang menentukan. Ampun Maharaj, Demikianpun Maharaj harus selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu”.

“Apakah Maharaj masih merasa ada kekurangan?. Maharaj sudah mempunyai segalanya. Maharaj sudah menjalankan semua kewajiban. Saptopilin berganti bertanya.

“Masih ada yang mengganjal dalam hatiku Pukulun. Apakah Yang Maha Esa menciptakan Aku hanya untuk menjalankan tugas-tugas ini?”. Sahut Maharaj Joyo Slomonyo. Memang terdengar pelan apa yang disampaikan oleh Maharaj, akantetapi begitu dalam maknaya. Sehingga membuat Saptopilin terdiam cukup lama untuk menjawabnya.

“Ampun Maharaj, tugas manusia di dunia ini hakekatnya adalah Memayu Hayuning Bawana, membangun dunia yang lebih baik, dengan dasar sepi ing pamrih rame ing gawe. Saya kira Maharaj sudah dapat melaksanakan semua ajaran tersebut. Ampun Maharaj, bukan maksud hamba untuk meggurui, dalam dunia ini, ada dua jenis Manusia. Manusia Pertama manusia yang menyadari tugasnya, yang keberadaannya tentu dibutuhkan pada setiap zaman. Manusia tersebut menjadi subyek sejarah, subjek kebudayaan, subjek pembangunan dunia. Manusia yang selalu menciptakan surga bagi orang lain. Mempunyai semboyan hidup hanya sekali, pergunakanlah untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin. Saya kira, Maharaj sudah berusaha untuk menjadi manusia yang jenis pertama”. Sedangkan manusia jenis kedua adalah manusia yang tidak menyadari tugas dari yang Maha Kuasa dan cenderung mereguk kenikmatan dunia spuas mungkin. Semboyannya Mumpung masih hidup, nikmatilah dunia sepuas-puasnya. Manusia seperti ini akan cenderung menyusahkan orang lain karena suka mengambil kepunyaan orang lain. Begitulah nasehat Pukulun Saptopilin kepada Rajanya.

Mendengar nasehat-nasehat tersebut, Maharaj Prabu Joyo Slomonyo menjadi tenang. Selanjutnya beliau berucap, “Pukulun, semua perbuatanku, hidupku, matiku sudah kuserahkan kepada Yang Maha Esa. Terima kasih telah memberikan nasehat-nasehat kepadaku selama aku memerintah. Aku harap, engkau juga bisa memberikan nasehat-nasehat kepada penerusku. Aku titip Adipati Anom Gusti Pangeran Begowonto.Agar ajian Ginong Pratidino dapat terus bertahan. Itulah titah terakhir Maharaja Prabu Joyo Slomonyo kepada Abdi Dalemnya.

Sudah kodrat Alam, Matahari terbit di timur dan akan terbenam disebelah barat. Pisang mati setelah berbuah, kupu-kupu mati setelah bertelur. Begitu pula dengan Manusia, ada saatnya dia jaya, ada kalanya dia surut, kemudian digantikan oleh manusia yang lain, oleh generasi yang baru, generasi yang lebih baik.

Tujuh hari paska pembicaraan Abdi Dalem dan Rajanya itu, Prabu Joyo Slomonyo kembali ke asalnya. Beliau ibarat Matahari yang tenggelam di barat negeri Bulak Ngentak. Matahari yang tenggelam setelah seharian menyinari dunia.

Selamat Jalan Sang Prabu.

Cerita tersebut hanyalah fiktif belaka, kesamaan nama tokoh, peristiwa, kejadian bukan bermaksud apa-apa. Hanya menuliskan apa yang ada di dalam pikiran. Jadi mohon maaf bila ada yang dirugikan

Ngayogyakarta Hadiningrat, 1 Desember 2011

Penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun