Mohon tunggu...
Khesieya Maulana Zahra
Khesieya Maulana Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Hyperrealitiy di Era Homo Digitalis

6 November 2023   17:47 Diperbarui: 6 November 2023   17:47 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hidup pada era modern saat ini, tentu kita tidak dapat lepas dari sebuah hasil proses kreasi dan inovasi manusia yang kita sebut sebagai teknologi. Hal tersebut merupakan yang mengkonversi pola mendasar kehidupan manusia menjadi serba digital 'homo digitalis'. Dengan segala bentuk dampak positif teknologi, dampak negatifnya juga turut mengikutinya. Kekacauan sosial akibat media sosial merupakan contoh lazim yang sering kita temui di kehidupan sehari-hari.

Setiap hari kita dipertontonkan pada peristiwa-peristiwa absurd manusia, seperti halnya ketika menggunakan media sosial. Jika tujuannya hanya untuk hiburan semata, maka masih dapat dimengerti. Tetapi, yang menjadi tantangan adalah ketika malah melampaui batas norma yang berlaku, sehingga dapat membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Filsuf Perancis, Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai "hyperreality".

Jean Baudrillard mengatakan bahwa manusia terperangkap dalam dunia simulakra (simulasi), yang membentuk pola pikir imajiner terhadap realitas, tapi tanpa menghadirkan realitas itu sendiri. Simulakra mengontrol dan menjebak manusia agar percaya bahwa dunia simulasi adalah nyata adanya. Maka, kemudian terjadilah ketergantungan terhadap dunia simulasi, seolah-olah kita tidak bisa hidup tanpa adanya dunia simulasi. Akhirnya, manusia mengalami ekstase dan tidak sadar bahwa dunia simulasi telah mengambil alih untuk mengontrol dirinya. Ciri dari simulakra adalah hypperality (melampaui kenyataan), simulasi yang membawa jebakan manipulasi tanda dan kebohongan, sehingga akan menjadikan manusia menikmati hyperreality.

Di era homo digitalis ini, tak sedikit kita sering menemukan orang-orang yang menggunakan media sosial secara berlebihan dan termasuk dalam kategori hyperreality. Dimana keseharian mereka hanya sebagai pelajar atau mahasiswa, malah melakukan sebuah pencitraan di media sosial dengan sok tampil seperti artis yang bergaya hidup konsumtif dan hedonis. Perilaku semacam itulah yang menandakan bahwa mereka hanya terpaku pada identitas yang terletak pada sebuah simbol, tanpa memperhatikan makna dan nilai pada realitas yang ada di dalamnya.

Hyperreality demikian juga bisa diartikan sebagai matinya sebuah realitas. Dimana realitas asli kita sebagai makhluk sosial, harus berganti status menjadi realitas sosial-virtual. Inilah fenomenanya, orang-orang pada era homo digitalis sulit untuk menghindari dunia simulasi, sehingga terjebak pada situasi kecanduan game online dan bermedia sosial, yang membuat seolah-olah dunia ini kurang asyik tanpa adanya hal tersebut.

Seperti yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, sudah jarang sekali melihat anak-anak bermain di halaman rumah ataupun bermain bola di lapangan, tapi lebih cenderung sibuk bermain game online. Seringkali kita melihat anak-anak muda duduk di kafe, mereka berdekatan tapi tidak bercengekrama, mereka minum kopi tapi masing-masing autis dengan smartphone-nya. Inilah yang sebenarnya bagian dari dampak negatif teknologi dan kehidupan digital.

Walaupun banyak sekali dampak positif yang dapat dirasakan seiring berkembangnya teknologi, tetap saja ada dampak negatif yang pasti nantinya akan dirasakan juga. Semua itu tentu kembali pada diri kita masing-masing, bagaimana kita menyikapi hadirnya sebuah teknologi sebagai bagian dari realitas di era homo digitalis.

Kendatipun demikian, setidaknya dalam era digital yang mengalihkan homo sapiens menjadi homo digitalis ini, kita sebagai manusia harus tetap bisa autentik dengan kemanusiaan kita. Tidak mudah hanyut terbawa arus banjir informasi, serta dapat menjadi pembendung hoax yang kerap datang secara brutal.

Oleh karena itu, perilaku maupun etika baik yang biasanya kita terapkan di dunia korporeal (dunia nyata), perlu diterapkan pula di dunia digital. Jika di dunia nyata kita ingin diperlakukan sesuai apa yang kita inginkan, maka kita harus memperlakukan orang lain dengan hal serupa. Demikian pula di dunia digital, jika ingin diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah orang lain dengan baik.

(Khesieya Maulana Zahra)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun