Fakhri menggelengkan kepala. Dahinya tak lagi mengkerut. Kacamatanya yang berada diujung hidung, Ia lepaskan seketika. Matanya berkedip-kedip. Namun pikirannya masih tetap segar. Benar, terlihat dari kata-katanya yang keluar.
“Ingatan Ku masih tertuju pada sebuah headline disalah satu media cetak lokal. Judulnya, “Presidien Galau Melihat Lokasi Pasca Penambangan Bauksit ”, katanya.
“Galau ?”. Aku harus menahan tawa agar tidak membuat konsentrasi sahabat ku itu buyar. Aku terus mengikuti perkembangan pola pikir makhluk cerdas itu.
Astaga ????
Dia meneguk lama secangkir kopi dihadapannya. Nyaris, sekejap saja minuman yang mengandung coffine itu habis. Padahal, Fakhri jarang minum kopi seperti itu. Biasanya, satu cangkir kopi dihabiskannya dalam waktu antara 45 – 60 menit. Bagi Fakhri, Itulah seni minum kopi. Memang tidak sama dengan minum cendol. Tetapi, sore itu gaya dan seni minum kopinya benar-benar hilang.
“Kenapa Presiden baru galau sekarang ya ? Apakah laporan yang Beliau terima selama ini tidak sesuai dengan fakta dilapangan ?” tanya Fakhri.
“Baru melihat lahan yang bopeng dari udara saja, galau. Apalagi melihat langsung dari dekat, mungkin pingsan”, balas ku.
Sekarang giliran Fakhri yang terlihat menahan tawa. Dia ingin aku tetap serius. Dia tahu betul bagaimana ketika kami sudah masuk dalam ranah yang urgen. Serius dan tetap serius hingga topik yang diperbincangkan selesai.
Fakhri menduga, ada hubungan hitam antara para pelaku penambang bauksit ditingkat lokal maupun nasional. Hubungan hitam diantara para pelaku, membuat permasalahan pertambangan bauksit sering berlalu bagaikan debu ditiup angin. Walaupun ada yang berteriak, tetapi itu tak ubah seperti anjing Menggonggong, Kapilah berlalu. Artinya, tak digubris dan selalu diabaikan begitu saja.
“Itulah hubungan hitam antara penguasa dan pengusaha. Perselingkuhan diantara mereka melahirkan kerusakan lingkungan”, kata Fakhri dengan wajah yang mulai beringas.
Mari kita tinggalkan tempat ini.
Ada mafia bauksit yang tengah tertawa terbahak-bahak dipojok belakang.
Aku tak sempat menoleh kebelakang. Fakhri buru-buru menarik tangan ku dan memaksa agar aku segera berlalu meninggalkan kedai kopi. Letak kedai kopi itu memang tak jauh dari aktivitas penambangan bauksit. Memang banyak yang tak percaya kalau penambangan bauksit didaerah kami itu terletak di tengah kota. Tetapi begitulah faktanya. Berada ditengah kota mungil, kota langganan Adipura.
***
Sepekan kemudian, aku dan Fakhri melakukan investigasi dampak lingkungan terhadap kehidupan masyarakat di lokasi penambangan bauksit diluar kota. Di daerah yang berjuluk bunda tanah melayu. Perjalanan menuju kesana memakan waktu selama 4 jam. Kami pergi menggunakan kapal Feri.
Ditempat itu, kami memperoleh banyak sekali informasi penting. Diantaranya tentang nasip suku terasing, keluh kesah para nelayan, laut yang tak lagi biru, ribuan ikan kerapu macan yang mati, tanah pusaka yang habis terjual, dana CD (Comodity Devolepment) dan CSR (Corporate Social Responcibility) yang tak jelas, aparat hukum yang lagi katarak, hubungan hitam antara penguasa dan pengusaha bauksit dan lain sebagainya.
Dari hasil investigasi selama 2 hari, hampir semua persoalan yang kami temukan dilapangan sama seperti ditemukan di daerah lain. Meskipun demikian, ada satu hal yang berbeda, yaitu tentang kondisi suku terasing atau Suku laut yang tinggal tidak jauh dari lokasi penambangan bauksit.
*****
Sore itu, Aku dan Fakhri tidak bisa menyembunyikan kesedihan ketika melihat komonitas suku laut tidak lagi menjadikan lautnya sebagai sumber kehidupan. Pola hidup mereka telah berubah. Laut disekitar tempat tinggal mereka telah merubah pola hidup mereka. Laut telah berubah menjadi daratan basah. Warnanya tidak lagi biru melainkan coklat seperti warna bauksit. Sepintas kelihatan seperti jalan luas yang belum diaspal. Tetapi sebenarnya itulah laut yang sudah tercemar limbah bauksit.
Tibat saatnya Aku dan Fakhri harus meninggalkan desa itu dan kembali ke kota. Di dalam Feri yang penumpangnya lebih ramai dibanding saat kami pergi kemaren, Aku memutar kembali rekaman percakapan dengan kepala suku laut. Aku mendengar suaranya melalui headset yang dipasang dibahu telepon seluler.
Fakhri yang duduk disamping ku tidak mau kalah. Dia terlihat mereview video rekaman kehidupan masyarakat suku laut. Matanya tertuju pada sebuah layar kecil di handycam miliknya.
Aku tidak ingin mengganggunya. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut kepala suku laut sangat menyentuh hati ku. Simak apa yang Ia katakan.
“Dahulu hidup kami berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Rumah kami adalah sampan. Anak-anak kami sama seperti kami. Tidak bisa menulis dan membaca. Tidak pernah menginjak halaman sekolah. Dahulu kami tidak memiliki agama. Tetapi sejak beberapa tahun kebelakang, pola hidup kami sudah berubah”.
“Kami tidak lagi hidup berpindah-pindah. Rumah kami, sama seperti rumah penduduk lainnya yang ada di desa ini. Anak-anak kami sebagian sudah sekolah. Mereka bisa menulis dan membaca. Karena anak-anaklah kami masih mau bertahan hidup bersama limbah bauksit. Yang penting bagi kami, anak-anak bisa menamatkan sekolah. Kami tidak ingin mereka bodoh seperti ayah dan ibunya”.
“Pertimbangan lain, mengapa kami masih mau bertahan hidup bersama limbah bauksit, adalah karena pak Ali. Beliau adalah penyuluh agama di desa kami. Lewat beliau, kami sekeluarga memeluk agama Islam. Saya dan anak laki-laki Saya sudah sunat (khitanan). Kami dibimbing pak Ali untuk beribadah dan mengerjakan sholat”.
“Kata pak Ali, bertahanlah ditempat ini dan berusahalah ditempat lain. Menangkap ikan ditempat lain dengan niat ibadah. Walaupun jaraknya jauh, percayalah, Allah akan mendekatkan rezeki kalian. Allah menyukai orang-orang yang sabar, rajin berdoa dan berusaha, katanya”.
“Tidak semua dari orang suku laut di desa ini mendengarkan nasehat pak Ali. Mereka lebih memilih meninggalkan desa ini dan kembali ke laut. Hidup berpindah-pindah dan tinggal dibawah kajang (atap rumbia) diatas sampan. Mereka meninggalkan semuanya. Termasuk agama yang pernah mereka anut karena dianggap menyulitkan kehidupan mereka”.
“Rekaman yang kemaren ya ?” Tanya Fakhri
Iya. Sedih.
Bisa sedih juga ya ?
Emangnya mayat nggak bisa sedih ?
Baguslah,..
Dasar !
Aku mencari file hasil rekaman percakapan bersama pak Ali. Penyuluh agama yang telah lama mengabdikan dirinya menuntun orang-orang suku laut. Pak Ali bekerja secara sukarelawan. Ia bekerja dengan ikhlas dan hanya berharap imbalan dari Tuhan.
“Masih ada sebagian dari orang-orang suku laut ini menganggap agama seperti perut mereka. Siapa yang datang menemui mereka dan memberikan makanan, maka agama orang itulah yang mereka anggap lebih baik dan dapat mereka percayai. Maka tidak heran bila mereka sering berpindah agama. Agama menurut sebagian orang suku laut harus memberikan kemudahan dan kesenangan hidup secara instan”.
“Kesulitan menangkap ikan akibat laut sudah tercemar limbah bauksit adalah sebuah ancaman bagi orang-orang suku laut. Dalam ajaran Islam sendiri, kemiskinan dapat mendekatkan diri dari kekufuran”, jelasnya.
Fakhri merampas headset yang terpasang dikedua telinga ku. Ia kemudian mengambil handphone ku.
“Pinjam sebentar”, katanya sembari menyerahkan handycam dan meletakkannya diatas perut ku.
Aku tak ingin bengong. Jarum jam telah menunjukkan pukul 12.07 wib. Masih kurang lebih 1 jam lagi kapal Feri tiba di pelabuhan. Aku mengutak-atik video yang ada didalam handycam merk sonny itu.
“Eh,… Kapan si cerdas ini mengambil video seorang anak kecil yang masih mengenakan seragam SMP ?”. Aku langsung memperlihatkan rekaman itu kepada Fakhri. Spontan Fakhri menyeletuk.
“Namanya Awang. Siswa kelas VII SMP kelas jauh yang ada di desa itu. Ia adalah anak suku laut yang tergolong cerdas. Sejak SD sampai sekarang, mendapat rangking 1 terus di kelasnya dan juara umum disekolahnya.
Kebodohan mampu Ia kalahkan. Tapi sayang, kesulitan ekonomi keluarga masih menghantui mereka. Terkadang, Ia tak kuat dan kalah melawan kemiskinan”.
Kapan kau menemuinya ?
Disaat kau buang air besar, aku mengikuti jejak-jejaknya hingga kerumahnya.
Kenapa kau tidak mengajak ku ?
Durasi buang hajat mu sulit diprediksi.
Dasar !
Aku tidak menyangka, Awang yang dimaksudkan Fakhri memang anak yang cerdas. Dari paparannya tergambar bahwa Ia tahu masalah kerusakan lingkungan yang diakibat limbah bauksit. Satu hal yang semakin membuat aku terpana. Apa yang Awang sampaikan punya kemiripan dengan yang disampaikan Fakhri.
“Asmara Bauksit”, katanya adalah hubungan antara pelaku bauksit yang menyebabkan lingkungan menjadi rusak. Kesulitan ekonomi kian bertambah dan kemiskinan mengancam mereka. Penguasa dan pengusaha bauksit bergembira diatas penderitaan mereka.
Tak terasa, kapal feri pun berlabuh. Kami telah sampai kembali ke kota. Begitu tiba di pelabuhan, Loper Koran menawarkan beberapa koran yang terbit hari ini. Hampir semua surat kabar lokal mengangkat tajuk berita yang sama. Yaitu tentang aksi Kepala Daerah menghentikan truk pengangkut bauksit yang melintas di jalan milik Pemerintah.
“Ah,.. ada apa dengan Kapilah ? Semoga tidak seperti pepatah diatas, “Anjing menggonggong, Kapilah berlalu”.
“Alaaahh.. Asmara Bauksit tu. Pembohong !”, cetus Fakhri dengan suaranya yang keras dan lantang. Spontan, banyak mata menatap kearah kami. Seketika wajah-wajah itupun tersenyum. Mulut mereka mengulangi kata-kata Fakhri. Sambil berucap, “Asmara Bauksit”, mereka pun tertawa.
“Edan. Fakhri pun ikut tertawa. Ia berteriak, “Asmara bauksit tu Boss,..!”
Sikap Fakhri terkadang membuat hati ku malu. Ya, malu menjadi perhatian banyak orang. Tetapi, itulah Fakhri. Aktivis lingkungan yang sejak awal mengutuk keras kerusakan lingkungan pasca kegiatan penambangan bauksit. Aku masih ingat apa yang diucapkannya. “Ayam mati dilumbung padi itu karena padinya dirusak hama tikus. Sedangkan warga mati ditambang bauksit itu karena kehidupan warga dirusak oleh penguasa dan pengusaha”, katanya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H