Dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Kata sastra yang biasanya diberi awalan ‘su’ yang berarti baik atau indah, sehingga menjadi susastra. Memiliki arti sebagai pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah. Berkaitan sastra Jawa maka secara praktis mengarah pada suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.
Pujangga adalah predikat yang diberikan kepada seseorang yang telah menciptakan atau menggubah suatu karya satra. Pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, Pujangga memperoleh julukan Empu, sedangkan pada zaman Jawa-Islam, pujangga memperoleh julukan Kyai. Itu sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Tantular, Empu Prapanca, Empu Seda dan Empu-empu yang lainnya. Dikenal pula nama Kyai Jasadipura dan Kyai Ranggawarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakikatnya menyimpan konvensi yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
Perjalanan sastra Jawa yang berlangsung sangat panjang telah banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh budaya asing yang datang ke tanah Jawa. Pengaruh budaya luar yang paling menonjol dan turut mewarnai adalah budaya Hindu dari India, yaitu pada zaman Renaisan Jawa I antara abad VIII sampai abad XV (masa Jawa Budha dan Jawa Hindu); dan budaya Islam dari Arab, pada zaman Renaisan Jawa II antara abad XVI sampai awal abad XX.
Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa. Karya ini banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa. Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap karya-karya tersebut.
Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas, sehingga muncullah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa yang asalnya dari karya Kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19, sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ronggowarsito kebanyakan berupa manuskrip.
Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babakan baru sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa. Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas Prawirasudirya. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah.
Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan pesan-pesan pendidikan. Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan karya sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja (Samuel Martaatmaja), Kartimaya (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja), dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya).
Sastra Jawa modern periode 1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa.
Selain itu pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta. Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan pengembangan sastra Jawa.
Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat dalam bentuk pengenalan genre baru.
Karya Sastra Jawa
Pada masa Hindu Budha, para raja memiliki hak-hak istimewa dalam pembinaan kesenian. Dari awal masa itu sampai dengan awal Majapahit, kesusastraan berbentuk kekawin, dimana kekawin tersebut hanya dihasilkan oleh raja-raja istana dan rumit. Contoh kekawin yang terkenal pada masa itu adalahRamayana, Kresnaya, Arjunawiwaha, Gatotkacasraya, Smaradahana, Sutasoma, Bharatayudha, Arjunawijaya.
Keterkaitan raja dengan karya-karya sastra tersebut dapat diketahui dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri. Peranan istana raja dalam pembinaan seni suara dan tari pun tersirat dari kutipan karyua-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin atau gelang oleh raja. Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra masa Hindu Budha, baik yang berupa kekawin berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu contohnya adalah Hayam Wuruk dalam Negara Kertagama.
Kemudian pada masa Islam, keterkaitan antara agama Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk memberikan sarana berbagai petunjuk atau nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk atau nasehat yang bersumber daripada ajaran Islam. Karya-karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita dan Susuhunan Pakubuwono IV) memakai puisi (tembang / sekar macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi Jawa baru: (1) Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang), karyanya antara lain Serat Warganya (1784), memakai tembang dandanggula berisi 10 bait; Serat Wirawiyata, memakai tembang sinom 42 bait dan tembang pangkur 14 bait; Serat Sriyatna, memakai tembang dhandanggula 15 bait;Serat Nayakawara,memakai tembang pangkur 21 bait dan tembang pangkur 12 bait; Serat Paliatma (1793), memakai tembang mijil 11 bait dan tembang pucung 11 bait; Serta Seloka Tama (1799), memakai tembang mijil 31 bait; Serat Dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula 12 bait, tembang kinanthi 18 bait dan tembang mijil 8 bait; Tembang Triparma,memakai tembang dhandanggula 7 bait dan tembang kinanthi 7 bait; Serat Wedhatama, memakai tembang pucung 15 bait, gambuh 25 bait, pangkur 14 bait dan sinom 18 bait.
(2) karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita, antara lain Serat Kalatidamemakai tembang sinom 2 bait; Serat Sabjatimemakai tembang megathruh 19 bait; Serat Wedharagamemakai tembang gambuh 38 bait, Serat Sandhatamamemakai tembang gambuh 22 bait, (3) karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV, diantaranya Sastra Wulangrehyang memakai tembang-tembang dhandanggula 18 bait, kinanthi 16 bait, gambuh 17 bait, pangkur 17 bait, maskumambang 34 bait, megatruh 17 bait, durma 12 bait, wirangrong 27 bait, pucung 23 bait, asmaradhana 28 bait, sinom 33 bait dan girisa 12 bait.
Sementara itu pada era modern, sebagaimana yang dijelaskan Linus dalam bukunya yang berjudul Dari Pujangga ke Pengarang Jawa, para pengarang sastra Jawa modern tidak berasal dari lingkungan kraton, bukan pula berdarah pujanga kraton, akan tetapi berasal dari wilayah pedesaan Jawa. Sesuai dengan trend zaman, mereka pun bergulat dalam kehidupan dan tantangan kongret, sehingga predikat yang tersemat di bahunya lebih tepat bila disebut pengarang urban. Mereka tidak memakai bahasa Sansekerta, tidak pula bahasa Jawa Kuna atau Jawa Kawi – bahkan huruf yang dipakai untuk menulis pun bukan huruf Jawa melainkan huruf Latin. Karya sastra yang muncul pada masa itu anara lain, Randha Guna Wacana karangan Surya Wijaya, Misteri Omah Lawas dan Pingget-pingget Katresnan cerbung karangan Mohammad Yamin, dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan.
Referensi: dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H