Untuk seorang penulis pemula, menerbitkan buku adalah sebuah perjuangan. Perlu kesabaran, kegigihan, persistensi, dan semangat. Menyerah di tengah jalan adalah pantangan yang wajb dihindari. Pengalaman saya menerbitkan buku dapat menjadi contoh.
Berawal dari obrolan dengan seorang teman yang baru saya kenal, saya memberanikan diri bercita-cita menerbitkan buku. Pengalaman saya empat tahun tinggal di sebuah negara Eropa (2012-2016) menjadi topik obrolan kami sambil menikmati sarapan waktu itu. Mengakhiri obrolan, teman yang baru saya kenal ini menyarankan saya untuk membukukan pengalaman tersebut. Banyak cerita yang menarik, katanya.
Awalnya saya menganggap saran itu sebagai basa-basi untuk mengakhiri pembicaraan. Lama-lama saya berpikir saran teman tadi ada benarnya juga. Akhirnya saya mulai membuka-buka postingan di media sosial (juga di Kompasiana) -Â semacam napak tilas untuk melihat kembali perjalanan yang pernah saya lakukan selama hampir empat tahun bertugas di benua biru.
Karena buku dalam bentuk travel guide sudah banyak diterbitkan, saya mencoba sudut pandang dan gaya penulisan lain. Setelah menyusun beberapa draft, yang paling cocok menurut saya adalah kumpulan kesan perjalanan. Mengapa kesan? Sebab tulisan disusun jauh setelah perjalanan dilakukan. Jadi yang muncul saat saya menulis adalah kenangan yang tersimpan - bukan detail perjalanannya.
Setengah tahun berjalan tersusunlah 50 bab tentang kesan perjalanan ke berbagai destinasi di 16 negara Eropa. Lumayan banyak juga. Sepertinya sudah layak dikirimkan ke penerbit.
Namun, tiba-tiba saja saya menjadi tidak percaya diri untuk mengirimkan naskah itu. Alasan utamanya takut dianggap pamer. Padahal belum tentu juga ada penerbit yang berminat menjadikannya sebagai buku hehehe...
Selama setahun naskah itu mengendap begitu saja di hardisk laptop, sampai akhirnya rasa percaya diri untuk mengirim ke penerbit muncul lagi. Akhirnya saya kirim naskah dalam bentuk hardcopy ke penerbit pertama.
Tiga bulan kemudian datang jawaban klise. Naskah tersebut cukup menarik tapi karena satu dan lain hal kami belum dapat menerbitkannya. Tiga purnama berlalu dan kabar yang didapat ternyata belum sesuai harapan. Untungnya penerbit berbaik hati mengembalikan hardcopy naskah saya.
Naskah itu kemudian saya kirim ke penerbit kedua. Kali ini jawaban datang cukup cepat, kurang dari satu bulan. Tapi nadanya mirip dengan penerbit pertama. Naskah dinilai cukup bagus tapi penerbit ini sedang fokus dengan buku-buku terjemahan.
Tidak patah semangat, saya kirimkan naskah ke penerbit ketiga. Ternyata impian saya belum terkabul. Lewat tiga bulan jawaban tak kunjung tiba. Saat saya telepon, naskah itu katanya masih ditimbang-timbang.
Di sela-sela perjuangan saya juga menjalin pertemanan dengan beberapa editor melalui media sosial. Saya mencoba menawarkan naskah ke teman-teman baru ini. Tapi tidak ada jawaban juga.