Jika mendapat pertanyaan soal hobi, saya memberi jawaban makan dan menulis. Kemudian saya buru-buru menyampaikan penjelasan tambahan. Saya konsisten menjalani hobi makan hingga berat badan selalu masuk kategori kelas berat. Namun untuk hobi menulis saya suka angin-anginan alias kurang istiqomah. Kadang rajin, tapi lebih sering tidak pernah menghasilkan tulisan apapun dalam jangka waktu lumayan lama.
Pengalaman pertama saya Menulis (dengan M kapital) adalah saat guru saya meminta saya ikut lomba mengarang level Sekolah Dasar tingkat kecamatan. Respon saya saat itu adalah terbengong-bengong. Di kelas tidak pernah ada pelajaran mengarang. Bagaimana saya bisa ikut lomba mengarang?-
Karena taat dengan perintah guru, saya mulai corat-coret sekenanya untuk persiapan lomba. Namanya juga tidak ada bekal pengetahuan sama sekali, corat-coret berakhir tanpa hasil. Sampai akhirnya ayah saya (beliau tidak lulus SD) memberi ide: tulis tentang keindahan desa kita. Lalu beliau menulis satu paragraf sebagai contoh. Jadi, ayah adalah guru menulis pertama saya.
Ternyata saya masuk 3 besar tingkat kecamatan dan selanjutnya diikutkan ke lomba mengarang tingkat kabupaten. Sayang sekali saya datang terlambat (karena ketinggalan armada angkutan pedesaan dan sama sekali tidak berpengalaman bepergian ke ibukota kabupaten), dan saya mengikuti lomba di tengah rasa panik dan bersalah. Alhasil saya gagal total. Namun demikian, pengalaman ikut lomba mengarang ini menjadi awal ketertarikan saya dengan dunia tulis-menulis.
Di SMP dan SMA saya menyalurkan hobi menulis melalui media majalah dinding. Majalah dinding? Anak-anak zaman now tentunya tidak familiar dengan majalah dinding. Membaca majalah beneran alias cetak saja mereka sudah jarang. Generasi sekarang lebih suka menulis di media sosial. Bukan di dinding, eh majalah dinding. Tulisan saya di majalah dinding bermacam-macam, mulai dari opini hingga puisi. Dan semuanya dalam bentuk tulisan tangan yang dikerjakan dengan ekstra hati-hati.
Saat SMA saya pernah mengirimkan tulisan pendek ke rubrik lembaran pelajar di sebuah koran daerah terbitan Yogyakarta. Tema yang saya pilih adalah seputar kepahlawanan. Kebetulan tulisan saya kirim menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November. Ternyata tulisan saya dimuat. Satu hari kemudian saya mendapat kiriman via pos dari redaksi koran tersebut. Isinya novel Sherlock Holmes. Itulah tulisan pertama saya yang dipublikasikan di koran.
Sewaktu kuliah hobi menulis tidak tersalurkan karena minimnya fasilitas. Saya tidak punya mesin ketik, apalagi komputer. Namun dengan mesin ketik pinjaman dari tetangga kos saya pernah menulis sebuah cerpen. Dan ternyata dimuat oleh sebuah tabloid terbitan Jakarta (sekarang sudah gulung tikar).
Cerpen itu menjadi karya sastra saya - jika boleh disebut begitu - satu-satunya. Sampai sekarang saya belum bisa menghasilkan cerpen lagi. Selain cerpen, saya juga mengirim cerita-cerita lucu format pendek. Untuk pertama kalinya saya mendapat honorarium dari tulis-menulis. Saya ingat honorarium dikirim dengan pos wesel.
Selepas kuliah saya mulai sibuk dengan dunia kerja. Namun ternyata gairah menulis tetap ada, meskipun ya tidak konsisten itu tadi. Saya banting setir menulis artikel opini. Ngga sering, sih. Jika mood sedang bagus saja. Topik tulisan saya adalah hubungan internasional dan diplomasi, sesuai bidang pekerjaan yang saya geluti.
Menulis adalah hobi yang mendatangkan kebahagiaan. Terutama saat tulisan kita dipublikasikan dan dibaca khalayak ramai. Imbalan finanasialnya mungkin tidak seberapa. Namun kepuasan batin yang didapat tidak ternilai harganya.
Ini pengalaman saya seputar dunia tulis-menulis. Suka tapi belum bisa konsisten. Bagaimana dengan Anda?