Banyak yang bilang Canberra adalah kota yang sepi. Isinya hanya pegawai negeri dan para pensiunan. Maklum, pusat pemerintahan Australia ini dibangun sebagai hasil kompromi. Tadinya Sydney dan Melbourne sama-sama ingin jadi ibukota. Solusinya dibangun kota baru di antara keduanya. Nama Canberra diyakini memiliki arti "tempat pertemuan". Untuk ukuran kota besar, jumlah penduduk Canberra tidak begitu besar. Sekitar 350 ribu jiwa. Namun untuk ukuran Australia jumlah itu termasuk signifikan. Kita tahu, negeri dengan luas wilayah mencakup seluruh benua ini penduduknya hanya sekitar 20 juta. Canberra adalah pengalaman pertama saya melihat negeri asing, jadi kenangan akan kota ini melekat begitu dalam. [caption id="attachment_170130" align="aligncenter" width="640" caption="Canberra (Sumber: Wikipedia)"][/caption] Canberra punya julukan "Bush City" atau "Kota Semak Belukar." Karena letak dan kondisi alamnya, semak belukar memang banyak dijumpai. Namun julukan ini juga bernada ejekan, mengolok-olok Canberra sebagai kota di udik alias pedalaman. Pada musim kemarau, semak mendatangkan masalah besar. Gesekan pohon dan rumput kering kerap menyebabkan kebakaran. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan akibat fenomena alam tersebut. Sebagai pusat pemerintahan, banyak gedung pemerintahan yang berada di Canberra. Yang paling sering dikunjungi adalah gedung parlemen, baik the Old Parliament House maupun gedung parlemen yang dipakai saat ini. Gedung parlemen Australia dibangun dengan konsep yang bersahabat. Orang-orang Australia dengan mudah mengunjunginya. Guided tour juga disediakan bagi mereka yang berminat. Mudahnya akses untuk berkunjung ke gedung parlemen ini juga membuat anggota DPR dan Senator merasa dekat dengan rakyat yang mereka wakili. Begitu juga sebaliknya, publik merasa dekat dengan wakil yang mereka pilih. Saya pernah berkunjung ke gedung parlemen dan menyaksikan langsung anggota DPR bersidang. Perdebatannya seru, namun fokus pada isu yang menjadi topik. Meski masing-masing kubu berjuang keras mempertahankan pendapat, mereka tetap bisa mengontrol emosi. Mereka juga tidak lari dari isu yang sedang dibahas. Canberra juga memiliki danau buatan, Lake Burley Griffin. Meski buatan, karena perencanaan yang bagus danau ini seperti alami. Terletak di tengah kota, danau ini merupakan pusat berbagai macam kegiatan. Pada musim gugur, festival balon udara digelar. Pagi hari balon-balon dalam aneka warna dan bentuk diterbangkan. Langit menjelma jadi begitu semarak. Mereka yang berkantong tebal dapat membeli tiket untuk melihat Canberra dari udara. Yang kantongnya tipis, seperti saya, sudah cukup puas melihat dari bawah saja. Pada musim semi, giliran festival bunga Floriade digelar. Alam menjadi begitu indah. Beragam bunga ditata demikian rupa. Ada yang menjadi bentuk bangunan atau hewan, ada juga tulisan. Bunga favorit adalah tulip. Selain anggun, warnanya juga bermacam-macam. Pada musim panas, kegiatan di tepi danau bertambah banyak. Sekolah libur, pegawai banyak ambil cuti. Aktivitas paling populer adalah barbecue party alias pesta bakar-bakar. Alat pembakar banyak tersedia di taman-taman pinggir danau. Siapa saja boleh menggunakannya. Pada musim panas, saat banyak orang ingin memakainya, kita harus mendaftarkan diri ke bagian yang mengurusi taman dan fasilitas umum. Meski bebas dipakai siapa saja, alat pembakar selalu dalam kondisi baik. Selesai dengan pestanya, pemakai akan membersihkan alat itu sampai benar-benar bersih. Seperti semula. Tidak lagi ada sisa minyak atau noda hitam residu pembakaran. Meski tidak ada yang mengawasi, semua melakukan pekerjaan bersih-bersih ini dengan penuh tanggung jawab. Prinsipnya, fasilitas umum harus dimanfaatkan dan dijaga. Bukan untuk dirusak. Musim dingin berubah menjadi saat yang sepi. Meski tidak sampai turun salju, udara berubah menjadi tidak bersahabat memasuki musim dingin. Orang lebih suka beraktivitas di dalam rumah. Sama seperti kota-kota lain di Australia, penduduk Canberra adalah penikmat olahraga rugby, Australian football atau footy, dan cricket. Ketiganya merupakan jenis olahraga 'langka' di Indonesia. Pertama kali melihat rugby, kesan yang terangkap adalah olahraga yang menjurus kasar. Pemain merebut bola dengan segala cara. Lawan dijatuhkan, dipiting, dan seterusnya. Tidak heran jika setelah pertandingan usai, wajah pemain yang diawawancara terlihat seperti habis dipukuli. Footy atau sepakbola Australia sama sekali bukan sepakbola. Permainannya lebih sering menggunakan tangan. Tendangan hanya digunakan untuk mencetak gol atau memberikan umpan jauh. Jadi sampai sekarang saya heran mengapa olahraga ini dinamakan football alias sepakbola. Sedangkan cricket mirip-mirip kasti. Pemainnya kaum lelaki, bukan ibu-ibu layaknya pertandingan kasti pada perayaan 17-an di Indonesia. Pertandingan untuk kategori test bisa berlangsung sampai lima hari. Tentu saja tidak siang malam. Namun bermain dengan bola dengan pemukul kayu selama lima hari sungguh luar biasa. Sampai ada anekdot doa istri seorang pemain cricket pada hari pertama pertandingan. "Ya Tuhan, semoga hari kedua dan seterusnya hujan turun." Harapannya agar pertandingan dibatalkan. Satu lagi kenangan Canberra adalah pelajaran menghargai pekerjaan orang lain. Pernah saya bekerja sebagai pengantar booklet iklan, pembersih alat-alat pesta, dan penjaga foodcourt di pusat perbelanjaan. Yang paling berkesan adalah saat bekerja sebagai penjaga foodcourt. Rata-rata pengunjung meninggalkan meja dalam keadaan bersih. Peralatan makan dan sisa makanan mereka letakkan di tempat-tempat yang disediakan. Begitu juga sampah, mereka letakkan di tempat sampah yang ada. Tidak pernah terlintas di benak mereka: "Ah, biar aja. nanti juga ada yang bersihin." Kebiasaan baik ini benar-benar meringankan tugas si pembersih meja. Kenangan yang tidak kalah seru adalah seru adalah berburu barang murah. Maklum, bagi golongan dengan kantong pas-pasan, ini menyangkut seni memertahankan hidup. Pasar sayur dan buah di Canberra, di Fyshwick and Belconnen, buka dari hari Rabu sampai Minggu. Menjelang tutup pasar hari Minggu sore, sayur dan buah dijual super murah. Logikanya jika disimpan dua hari lagi bakal layu atau busuk. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk memborong sayur dan buah. Tinggal masuk kulkas, pasti bertahan kesegarannya dua minggu lagi. Satu jenis buah yang saya suka adalah plum. Jika sedang musim, harganya sangat murah. Bahkan sering diberikan cuma-cuma, karena banyaknya. Di Jakarta plum adalah buah impor yang mahal. Harganya benar-benar tidak bersahabat. Jika melewati rak buah ini di pasar swalayan, kalimat ini langsung terlontar di kepala. "Ngga mau beli. Mahal. Dulu udah puas makan plum di Canberra." Ah, indahnya bernostalgia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H