Mohon tunggu...
Kharisrama Trihatmoko
Kharisrama Trihatmoko Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Support me to be a writer by finding my books at: www.salehajuliandi.com www.gramedia.com Thank you! :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tulisan tanpa Judul!

19 Desember 2014   07:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini mungkin sangat singkat. Dan mungkin terlalu responsif serta lebih berisi luapan perasaan. Saya memang tidak mencari lebih jauh untuk hal ini karena masalah keterbatasan waktu.

Jadi, kurang dari seminggu ini saya mendapati beberapa kabar terbaru mengenai sistem dan hasil kerja pemerintah. Kabar-kabar yang sementara ini saya katakan cukup (sangat) mengenaskan. Misalnya: kurs dollar yang melambung, gedung kementerian BUMN yang hendak dijual, orang asing yang mulai diperbolehkan memimpin BUMN, dsb. Sebenarnya ada apa dengan pemerintah baru kita? Sebelumnya saya berharap agar kenaikan bbm beberapa saat yang lalu dapat cepat segera tergantikan dengan berita yang menggembirakan. Meskipun saya pribadi menyetujui kenaikan bbm ini (berdasarkan pandangan dari para dosen saya yang menurut saya cukup kuat), saya tetap kurang suka dengan dampak dan efek jangka pendeknya sekarang. Dengan berita-berita gembira, saya tadinya berharap agar ada sesuatu yang dapat mengobati derita rakyat dan membalikkan citra positif pemerintah. Tapi, kenyataannya?

Jika saya bisa bertemu Pak Jokowi, saya ingin melemparkan beberapa pertanyaan yang mungkin bodoh. Misalnya saja, apakah dia merasakan secara langsung kenaikan ongkos dan harga makan bagi mahasiswa akibat kenaikan BBM? Apakah dia merasakan langsung syoknya pembaca yang selama ini dicekoki media mengenai pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetapi kenyataan kurs dollar nyaris mencapai Rp 13.000 dan rupiah officially menjadi mata uang paling sampah no. 4 di dunia? Apakah dia merasakan langsung perasaan mereka dengan keislaman yang kuat begitu tahu akan ada larangan pejabat berjilbab panjang dan berjenggot? Apakah dia merasakan langsung perasaan mereka yang sudah belajar, bekerja, dan bertahan sekeras mungkin untuk memajukan Indonesia yang mereka cintai ternyata harus bersiap-siap melihat perusahaan-perusahaan nasional diperbudak oleh CEO asing? Apakah dia betul-betul meresapi konsekuensi dari Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi?

Saya kurang paham dengan pedoman untuk mengambil kebijakan yang digunakan pemerintah saat ini. Apakah mereka harus terbutakan oleh pandangan yang visioner sehingga tidak mampu melihat kondisi dan perasaan rakyat di sekeliling? Apakah logika dan social awareness memang selalu tidak bisa sejalan? Jangan anggap semua rakyat itu cerdas. Jangan anggap setiap dari rakyat mau dan bisa mengerti apa yang dimaksud pemerintah di balik setiap kebijakannya jikalau tingkat dan kualitas pendidikan untuk rakyat saja masih belum merata. Ketika masalah kenaikan BBM mendera, ada seorang pakar yang mengatakan bahwa rakyat kecil yang tidak setuju berarti menyulitkan pemerintah karena mereka tidak memiliki kepahaman tentang dunia perminyakan. Well, saya setuju tapi saya juga kurang suka. Memangnya kenapa? Apakah itu salah mereka kalau mereka yang low educated tidak memiliki pengetahuan dan pemikiran sedalam itu?

Saya tahu bahwa menjadi pemimpin tidak mudah. Dan menjadi pemimpin berarti siap untuk dicap menjadi yang salah dan tidak pernah benar. Saya tahu tidak mungkin bagi Pak Jokowi untuk mampu membuat setiap dari rakyat mengerti tujuan baik yang tersembunyi di setiap kebijakannya. Tetapi, kalau memang logika tidak bisa disejalankan dengan social values, saya berharap agar kerja pemerintah tidak hanya mendesain dan mengejar target saya. Buatlah juga skenario. Pemerintah berisi manusia, bukan robot yang diprogram untuk menentukan dan mengeksekusi nilai pencapaian tertentu. Pemerintah itu seperti ibu dan rakyat adalah anak-anaknya dengan karakter yang beragam, ada yang pintar, bodoh, manja, tegas, pengertian, dll. Janganlah hanya mengejar masa depan, tapi buatlah skenario yang apik untuk mencapai masa depan itu. Output memang penting, tapi lebih penting lagi proses. Apakah pengalaman selama 32 tahun dengan hanya mementingkan output kurang cukup?

Maaf kalau tulisan ini bertutur kata yang kurang pantas dan kurang berkenan. Ini saya tulis tanpa berpikir panjang selama 5-10 menit. Semoga yang membaca mendapat manfaat dari sini.

Salam,

Kharis Rama,

Mencintai Indonesia walaupun tak berarti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun