Kali ini saya akan membagikan sedikit manfaat yang saya dapatkan dari seminar sesi kedua pada Seminar Keprofesian Teknik Kimia di ITB. Untuk seminar sesi pertama sendiri, Anda dapat membacanya di sini. Seminar kedua ini diberikan oleh Lisa Norisza Sjahwil (TK 1991) dari PT Givaudan Indonesia, perusahaan produksi bahan-bahan perisa terkemuka di Indonesia. Mungkin tak banyak pembaca yang berkesempatan untuk mendengar mengenai manajemen halal langsung dari para expertise di industri pangan. Oleh sebab itu, semoga apa yang saya share di sini bisa menambah wawasan ...
[caption id="attachment_368728" align="aligncenter" width="300" caption="Seminar Keprofesian oleh Lisa Norisza Sjahwil"][/caption]
Dewasa ini, kebutuhan terhadap bahan-bahan pangan semakin meningkat. Salah satu komoditas pangan yang semakin banyak aplikasinya di industri adalah produk perisa. Dalam pembuatan produk perisa sendiri, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu keamanan, toksikologi, regulatory, serta yang tak kalah penting adalah sertifikasi halal.
Halal mengacu kepada hal-hal yang diizinkan pada bahan, pemrosesan, dan produk pangan konsumsi sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci umat Islam, yaitu Alquran dan Al Hadits. Sementara itu, haram mengacu kepada hal-hal yang dilarang. Di dalam industri pangan, khususnya di negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam seperti Indonesia, sertifikasi halal merupakan standar penting agar suatu produk pangan dapat diterima oleh pasar. Hal ini disebabkan karena konsumen dunia sangat didominasi oleh umat muslim yang jumlahnya mencapai 1,6 miliar dan notabene mensyaratkan agar bahan atau produk pangan konsumsi memiliki jaminan halal sesuai di kitab suci mereka. Ditambah lagi, jumlah penganut agama Islam di dunia diperkirakan akan meningkat menjadi 2,2 miliar dan terdapat nilai CAGR sebesar 1,5% sehingga tren makanan halal diprediksikan akan terus berkembang hingga 20 tahun ke depan, terutama di kawasan Asia Pasifik pada 2030. Selain itu, sertifikasi halal juga menawarkan jaminan manfaat kesehatan dan higienitas yang tinggi dan ketat sehingga banyak konsumen dari agama lain yang tertarik dan lebih memilih produk-produk pangan bersertifikasi halal. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi halal bagi suatu pabrik industri pangan tidak lagi sekadar kebutuhan, melainkan kesempatan untuk memenangkan permintaan pasar.
Kendati halal merupakan obligatory, akan tetapi peraturan mengenainya masih bersifat voluntary. Berbeda dengan sertifikasi keamanan pangan seperti dari Food and Drug Administration (FDA) USA atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, secara global halal belum menjadi kewajiban mutlak yang harus dipenuhi oleh industri pangan, baik produk pangan satuan ataupun produk katering. Di Indonesia sendiri, sertifikasi halal sebaiknya dipenuhi karena terdapat fasilitas lembaga yang berkewajiban untuk memeriksa, mengaudit, dan mengesahkan sertifikasi halal, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI terbagi menjadi dua sublembaga, yaitu Fatwa dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika (LPPOM). Di sini, LPPOM bertugas untuk mengaudit, mengakses material produk dan kemudian mempresentasikan hasilnya ke Fatwa. Selanjutnya, Fatwa yang beranggotakan para ulama akan memutuskan apakah produk tersebut telah memenuhi kriteria halal.
Sertifikasi halal diperuntukkan untuk setiap produk dan bukan untuk suatu usaha industri pangan secara kesatuan. Untuk mendapatkan sertifikasi halal tersebut, perusahaan harus lulus Halal Assurance System (HAS) yang berfungsi memastikan seluruh prosedur selalui terkontrol halal. HAS terdiri dari beberapa hal, yaitu kebijakan halal, sistem manajemen halal, pelatihan dan pendidikan, material, produk, ketertelusuran, fasilitas produksi, prosedur tertulis mengenai aktivitas kritikal, penanganan produk-produk yang tidak sesuai, audit internal, dan peninjauan manajemen.
Pemeriksaan halal tidak hanya mencakup bahan baku dan pendukung yang digunakan, melainkan juga peralatan, alur proses, uji coba, dan tampilan atau tujuan akhir produk (mimicking). Dari segi komposisi bahan, telah ditentukan bahan-bahan yang terkategorikan haram seperti bangkai, darah, daging babi, alkohol, daging hewan bertaring dan berkuku tajam, serta daging yang tidak disembelih dengan nama Allah. Kategori haram tidak hanya pada bahan mentah, melainkan juga pada produk turunannya seperti rennet dari babi untuk pembuatan keju, gelatin dari babi untuk pembuatan kerupuk kulit, dan turunan alkohol haram seperti isoamil alkohol, butanol, isoamil asetat, minyak fusel, asam tartarat, brewing yeast, dan lainnya. Kemudian, dari segi pemrosesan, satu peralatan yang sama tidak boleh digunakan untuk pemrosesan bahan halal dan bahan haram, karena bahan halal akan tercemar.
Sertifikasi halal tidak dimaksudkan untuk menyusahkan, melainkan untuk kepentingan pemasaran produk dan juga untuk memberikan kualitas nutrisi dan keamanan tertinggi kepada konsumen. Untuk itu, pemeriksaan halal tidak berhenti pada pengesahan sertifikasi halal, namun terdapat kontrol dari lembaga berwenang setiap rentang periode tertentu agar kualitas produk tetap selalu terjaga. Dengan tugas ini, maka status MUI sebagai badan yang independen di pemerintahan sebaiknya tidak berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H