Meneruskan wejangan dari salah seorang dosen saya saat sedang kuliah beberapa minggu yang lalu, Jepang saat ini mungkin termasuk negara maju yang sedang mengalami krisis. (Benarkah?)
Mari flash back dahulu. Kita mungkin selama ini mengenal Jepang sebagai bangsa yang pantang menyerah. Ketika dahulu negara ini dibom atom oleh Sekutu, negara ini menjadi hancur lebur dan porak poranda (sehingga Indonesia pun mengalami vacuum power yang kemudian dimanfaatkan untuk merealisasikan kemerdekaan). Seharusnya, kans Jepang untuk menjadi negara miskin saat itu demikian besar. Akan tetapi, para pemimpin negara sakura tersebut tidak menyerah. Melalui restorasi Meiji, pemerintah Jepang bersama rakyatnya membangun kembali negara mereka dengan kerja keras yang luar biasa hingga menjadi negara termaju kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Akan tetapi, apakah mental baja bangsa Jepang masih seperti dahulu? Hmm, saya menjadi ragu dengan hal ini setelah menyimak cerita dosen saya. Saat ini, Jepang termasuk negara yang kewalahan dengan generasi mudanya. Generasi muda Jepang kini terasa semakin berbeda dengan generasi muda negara matahari tersebut di tahun 70-80 an. Jika dulu generasi muda Jepang memegang beban pembangunan negara yang sangat berat di pundak mereka sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja sangat luar biasa kerasnya, kini kondisi Jepang yang telah mapan dan globalisasi budaya membuat kultur kerja keras tersebut mulai memudar. Suburnya pertumbuhan bidang industri entertainment baik dari barat maupun dari tanah ginseng membuat anak-anak muda Jepang kini menggilai entertainment. Lalu apa akibatnya? Tentu saja hal ini berpengaruh kepada tingkat pendidikan di Jepang. Awalnya saya tidak percaya, namun setelah saya browse di internet, pendidikan Jepang memang mulai mengalami penurunan peringkat di beberapa bidang seperti matematika dan sains. Dan kini, di tingkat universitas, jurusan-jurusan berat seperti sains dan engineering semakin sepi dari peminat. Beberapa anak muda Jepang merasa tidak mau membebankan hidupnya dengan rutinitas mahasiswa sains dan engineering yang begitu sibuk dan menghabiskan waktu.
Hanya itu? Tidak. Kini generasi muda Jepang juga semakin malas memiliki anak. Jika generasi terdahulu Jepang masih mau memiliki anak paling tidak satu, kini anak-anak muda Jepang semakin malas untuk menikah. Apa akibatnya? Pertumbuhan penduduk Jepang pun kini mendekati nol (dan mungkin saat ini sudah minus). Tentu saja ini merupakan warning bagi pemerintah Jepang jika ingin negaranya tetap bertahan. Dan lucunya, pemerintah Jepang sampai membuatkan program khusus dari negara untuk menjodohkan pemuda-pemudi di negerinya, dengan harapan generasi muda tersebut mau menikah dan memiliki anak.
Apa makna dari semua cerita ini? Tentu saja, bahwa segala sesuatunya tidak ada yang abadi, termasuk kemajuan suatu negara. Membandingkan kondisi generasi muda di Jepang dan di tanah air, membuat saya 'sedikit' optimis dengan Indonesia. Jika dalam pandangan Jepang kebutuhan suatu negara untuk maju dan tetap bertahan adalah generasi muda yang mau belajar dan bekerja keras serta berkeluarga, maka Indonesia tentu menjadi peluang besar untuk itu.
Lalu apa yang harus generasi muda Indonesia lakukan? Menurut saya pribadi adalah kembangkan diri seluas-luasnya di bidang kita berada. Jika kita mencintai Indonesia dan ingin memajukannya, maka tugas pertama saat ini adalah urusi diri sendiri agar terus berkembang dan siap terjun ke masyarakat. Kurangi ketidaksukaan terhadap perpolitikan di negeri ini (seperti kasus pilpres dan sidang perdana DPR beberapa saat yang lalu) karena semua pemain tersebut adalah generasi tua yang akan ada masanya untuk turun. Percayalah bahwa generasi muda yang akan memimpin negeri ini di 2045 nanti jauh lebih baik. Lalu tugas kedua adalah berkomitmen untuk tetap memberi impact positif kepada Indonesia. Jepang saat ini sudah mulai 'impor' penduduk dengan merekrut pemuda Indonesia untuk mau belajar dan bekerja di Jepang. Meskipun ini semua adalah pilihan, tetap ingat saja bahwa Indonesia lebih dari seorang ibu yang memberikan kita udara, air, makan, tempat, kenyamanan, dan segala hal kebutuhan hidup lainnya sejak kita lahir ke dunia ini.
Salam kompasiana!
bara kecil lilin tidak pernah mengutuk kegelapan
hanya dari Tuhan kita berasal, hanya dengan Tuhan kita bertahan, dan hanya kepada Tuhan kita kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H