Mohon tunggu...
Kharisma Wulan Fadhila
Kharisma Wulan Fadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang

saya merupakan seorang mahasiswa, yang memiliki hobi membaca dan juga kuliner

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Femisida: Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender dan Pembunuhan Terhadap Perempuan

5 Oktober 2023   10:46 Diperbarui: 6 Oktober 2023   16:22 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apabila mendengar kata femisida, rasanya masih awam terdengar ditelinga kita. Masyarakat cenderung lebih mendengar kata "kekerasan" yang dapat kita tahu melalui kehidupan sosial maupun media sosial. Istilah femisida sudah di kenal dan menjadi pusat perhatian khusus diberbagai negara.

Femisida sebagai puncak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dengan menghilangkan nyawa perempuan. Femisida, termasuk kedalam kekerasan paling ekstrim yang dilakukan terhadap perempuan.

Salah satu peneliti Amerika, Diana H Russel menjelaskan bahwa femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan karena ia adalah perempuan, femisida juga bentuk misoginis (bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mengakibatkan adanya kebencian) serta merupakan kejahatan yang paling ekstrim dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan definisi terkait femisida yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa untuk memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.

Terdapat kategori femisida yaitu femisida pasangan intim, femisida budaya, femisida dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang, femisida dalam konteks industri seks komersial, femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender, femisida di penjara, femisida non intim (pembunuhan sistematis) serta femisida terhadap perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM).

Organisai -- organisai dunia seperti United Nations Women, World Health Organization (WHO) dan Office of The High Commissioner Human Right (OHCHR). Bahkan,  United Nations Women dan Office of The High Commissioner Human Right (OHCHR) telah mengambil sikap tegas terkait dengan femisida. Menurut United Nations Women, femisida sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan sebagai pembunuhan yang dilakukan sengaja diiringi dengan kekerasan -- kekerasan lainnya terhadap perempuan atau anak perempuan karena gender mereka adalah perempuan.

Berbagai macam kasus yang terjadi di Indonesia, terkait dengan adanya kejahatan femisida ini dapat kita lihat dan banyak terjadi dilingkungan rumah. Pembunuhan perempuan banyak terjadi didalam rumah tangga yang dilakukan dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran.

Kasus yang terjadi baru-baru ini adalah pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi di cikarang barat daerah Bekasi Jawa Barat. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh suami yang berinisial NKW terhadap istrinya yang berinisial MSD, yang lebih mirisnya lagi pembunuhan tersebut disaksikan oleh anak korban dan pelaku yang masih berusia 3 tahun. Menurut Polsek Cikarang Barat AKP Rusnawati, motif dari pembunuhan tersebut diakibatkan adanya percekcokan dikarenakan korban (MSD) sering memaki tersangka (NKW) disebabkan kebutuhan ekonomi.(liputan6.com)

Di Indonesia, kasus femisida merupakan kekerasan sadistik yang senyap karena masih diperlakukan sebagai tindak pidana pada umumnya. Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengenali tindak pidana femisida dan karena itu tidak tersedia hukum yang mengatur tentang femisida secara khusus. Hukuman atas pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan masih di kelompokkan sebagai pembunuhan pada umumnya. Tindak pidana pembunuhan diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),  pasal 458 sampai dengan pasal 462 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) apabila kasus femisida terjada dalam lingkup rumah tangga.

Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah memiliki peran penting tentang femisida, dikarenakan semakin meningkatkan kasus femisida di Indonesia dan tidak menganggap remeh. Jika hal ini terus berlanjut, perempuan akan merasa tak nyaman untuk melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari. Pemerintah harus tetap meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya femisida, dimulai dengan melakukannya kampanye tentang pencegahan kejahatan pada perempuan serta adanya pengawasan, penyaringan dan hukum yang jelas agar perempuan merasa aman dan nyaman menjalani kehidupannya. Selain itu, perlunya untuk melakukan pendataan kasus pembunuhan menurut jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan).

Penulis:

Kharisma Wulan Fadhila

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun