Meskipun demikian, pendidikan tinggi tetap memiliki sifat selektif. Tidak semua orang tua mampu membiayai pendidikan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Namun, dengan adanya sistem seleksi berbasis komputer, proses penilaian menjadi lebih objektif dan tidak lagi dipengaruhi oleh status sosial orang tua atau rekomendasi pihak tertentu. Sistem ini memberikan peluang lebih besar bagi anak-anak dari kalangan ekonomi rendah dan menengah untuk mengakses pendidikan tinggi berdasarkan kemampuan dan prestasi mereka. Namun, seperti yang disampaikan oleh Anderson dalam penelitiannya, tidak bijak untuk menyimpulkan bahwa mobilitas sosial ke atas sepenuhnya bergantung pada pendidikan formal. Penelitian komparatif di negara seperti Swedia dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa mobilitas sosial dapat terjadi tanpa keterkaitan langsung dengan pendidikan formal. Faktor lain, seperti kecerdasan (intelegensi) dan motivasi individu, juga berperan penting dalam memengaruhi mobilitas sosial, meskipun kedua faktor ini tidak selalu berkaitan dengan pendidikan formal.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin penting peran pendidikan, semakin besar peluang mobilitas sosial, terutama bagi anak-anak dari kalangan ekonomi rendah dan menengah. Namun, kenyataannya, hal ini tidak selalu berlaku, terutama jika pendidikan hanya berhenti pada jenjang Madrasah Aliyah tanpa disertai keterampilan tambahan yang mendukung. Pendidikan Islam memiliki kaitan yang erat dengan mobilitas sosial, karena selain mengajarkan ilmu agama, juga fokus pada pembentukan karakter, etika, dan keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan ini mengajarkan bahwa menuntut ilmu adalah bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah, yang sejalan dengan semangat untuk terus berkembang dalam aspek sosial, ekonomi, dan spiritual. Â b.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H