Sudut Pandang Sastra di Tengah Pondok Pesantren

Sastra memiliki definisi yang sangat luas, oleh karena itu hingga saat ini definisi sastra masih banyak diperbincangkan karna dirasa belum ada pengertian sastra yang memuaskan. Namun terdapat beberapa ahli telah mendefinisikan sastra dan sudah disepakati oleh para sastrawan. Dilansir dari buku ajar mahasiswa jurusan sastra Inggris fakultas adab dan humaniora UIN Sunan Gunung Djati yang berjudul Introduction to Literary Analysis,

Menurut Sapardi Djoko Damono seorang pujangga terkemuka yang berkebangsaan Indonesia mengemukakan bahwa sastra adalah sebuah gambaran kehidupan manusia yang penyampaiannya menggunakan media bahasa.

Menurut Mursal Esten seorang akademisi penulis, sastrawan, dan budayawan Indonesia mengemukakan bahwa sastra adalah pengungkapan dari sebuah fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia yang memiliki efek positif terhadap kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium penyampaian.

Menurut Plato seorang filsuf dan matematikawan mengemukakan bahwa sastra adalah hasil penemuan atau gambaran dari kenyataan (mimesis), sehingga sebuah karya sastra harus berupa peneladanan alam semesta sekaligus model kenyataan.

Menurut Atar Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. 

Adapun pengertian sastra menurut bahasa yang dilansir dari KBBI yaitu Sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).

Dari semua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra adalah sebuah hasil karya tertulis dengan unsur estetika yang mencerminkan kehidupan. 

Seperti contoh hasil karya sastra para ulama terdahulu yang akrab disebut dengan kitab kuning atau kitab gundul, lazim menceritakan tentang kehidupan dan tentu memiliki nilai estetika. Pada umumnya kitab kuning ini dikaji di pondok pesantren salafi sebagai sumber pembelajaran setelah Al-quran dan Hadits. Dikalangan para pelajar pondok pesantren atau akrab disebut dengan santri, kitab kuning ini selain digunakan untuk bahan pembelajaran juga biasa digunakan sebagai bahan syairan, nadhoman, dan bahkan bisa untuk menjadi bahan gombalan. Tidak hanya syair (puisi), konon sejarah Islam pun memiliki kecermelangan prosa yang sama panjangnya. 

Tercatat tokoh-tokoh penulis prosa seperti Abul Hamid al-Katib (130 H/749 M), Abu Amr Usamah al-Jahiz (253 H/868 M), dan Abu Hayyan al-Tahwidi (375 H/979 M). Bahkan, pada zaman kegemilangan prosa, lahirnya kitab-kitab seperti Risalat al-Ghufran, Al-Risalah al-Ighridiyah, yang ditulis oleh Abu al-'Ala Ma'arri (449 H/1059 M) telah menembus sedemikian kuat dan memengaruhi gaya penulisan pengarang-pengarang Eropa pada masa itu.

Tidak hanya dalam bentuk surat-menyurat, pidato-pidato indah, esai-esai sastrawi, tetapi juga dalam bentuk maqamat, yakni kisah-kisah pendek yang kemudian menjadi genre tersendiri dalam khazanah kesusastraan dunia, kita mengenal Abu Abdullah Muhammad al-Jihsiyari, penyusun Kisah 1001 Malam, sebagai seorang yang berhasil memberikan pengaruh trehadap sastrawan-sastrawan besar dunia, seperti Goethe, Orhan Pamuk, Tolstoy, dan Conan Doyle. 

Khudz maa shofa wada' maa kadar.