Sebuah hal yang wajib kita sadari dan syukuri pada abad ke-20 ini adalah nikmat kebebasan dalam mengenyam pendidikan tanpa adanya marginalisasi kaum strata tertentu atau berdasarkan gender. Segala privilege dan kesejahteraan yang kita dapati sekarang sejatinya tidak terlepas dari kontribusi seorang wanita muda yang telah melancarkan perjuangannya dalam serambi kolonialisme.Â
Cita-citanya yang mulia dihadapkan pada norma kolonial dan adat masyarakat yang tidak memihaknya. Namun kepedulian dan kecintaan yang dimilikinya atas bangsa (pribumi) mampu mengatasi segala keterbatasan yang ada. Disisi lain, rupanya Agama Islam yang dianutnya menjadi faktor pembangun dan landasan bagi langkah perjuangannya.
Biografi Singkat Kartini
Ialah Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau lebih sering dikenal dengan R.A Kartini. Seorang visioner, pelopor emansipasi wanita, sosok pejuang yang semasa hidupnya gigih memperjuangkan keadilan bagi pribumi serta menjadi garda terdepan memperjuangkan kesetaraan hak wanita, khususnya dalam hal Pendidikan.
 Atas perjuangannya tersebut Presiden pertama Indonesia, Soekarno dalam Surat Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional serta menetapkan tanggal lahirnya, yakni 21 April diperingati sebagai "Hari Kartini".
Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879, ia dilahirkan dalam keluarga yang berlatar belakang priyayi. Ayah Kartini, R.M Sosroningrat berasal dari golongan priyayi atau kelas bangsawan jawa, R.M Sosroningrat ialah seorang patih yang kemudian juga menjabat sebagai bupati Jepara. sedangkan Ibu kandung Kartini, Nyai Ngasirah putri dari seorang guru agama Islam yang sangat dihormati di Telukawur, Jepara.
Terlahir sebagai keturunan priyayi menjadi alasan diperbolehkannya Kartini untuk mengenyam pendidikan, yang mana pada masa kolonial Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan priyayi. Semasa hidupnya Kartini sempat bersekolah di ELS (Europes Legare School), sekolah pendidikan dasar Eropa.
Sejarah Pemikiran Kartini
Kartini ialah seorang yang kritis dan berpikiran terbuka, hal tersebut merupakan buah dari lingkungan sosial dan pengalaman belajarnya di ELS. Kartini sangat mencintai dan menyadari pentingnya Pendidikan, bahkan setelah lulus ELS ia meminta ayahnya untuk melanjutkan pendidikan menengah di Semarang. Namun permintaan tersebut tidak dapat terkabul karena usia Kartini menginjak 12,5 tahun sehingga ia diwajibkan untuk mengikuti adat Jawa bagi wanita yang memasuki masa remaja, yakni pingitan.
Rupanya pingitan bukanlah seutuhnya jeruji penjara bagi Kartini. Hal tersebut justru membuat Kartini lebih memahami keadaan lingkungan sosial pribumi kala itu, khususnya wanita. Persoalan yang jamak dihadapi wanita Jawa adalah pingitan, poligami, dan kebodohan. Persoalan-persoalan tersebut jelas memperlihatkan kedudukan wanita yang berada dalam kuasa patriarki, adat yang memperbodoh kaum wanita, dan menghambat kebebasan kaum wanita untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai manusia yang merdeka.
Selama masa pingitan Kartini tetap berusaha menambah wawasan dengan menghubungi sahabat-sahabat Belandanya agar mengirimkan surat, koran, dan sebagainya untuk bahan bacaan. Beberapa buku yang dibaca Kartini adalah Minnebrieven karya Multatuli, dan De Vrouw en Sosialisme (Wanita dan sosialisme) karya August Bebel.