Jika berbicara tentang disabilitas, tentunya yang muncul di pikiran kita adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan pada saat menjalankan aktivitas sehari-harinya sehingga tidak dapat melakukan produktivitas dengan optimal. Begitulah yang terjadi dengan Herman, pria paruh baya berumur 60-an yang menyandang tuna daksa karena kecelakaan yang dialaminya semasa SMA. Namun, dengan usaha kerasnya ia dapat mencapai titik tertingginya, yaitu pada saat ia menjadi seorang atlet paralympic nasional yang mewakili Indonesia pada pertandingan olahraga khusus penyandang disabilitas tersebut.
Nahas, nasibnya setelah pensiun dari profesi atlet tersebut ia tidak lagi diperhatikan oleh pihak yang dahulu membimbingnya hingga menjadi seorang juara. Kenyataannya, di Indonesia ini tidak hanya Herman yang diperlakukan seperti itu, di luar sana banyak sekali disabilitas lain yang kesejahteraannya tidak diperhatikan dan cenderung diabaikan sebab begitu banyak dan rumitnya birokrasi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan sebuah uluran tangan dari pemerintah. Padahal, sebagai seseorang yang menyandang disabilitas, khususnya yang terjadi pada tuna daksa, akibat dari tidak seimbangnya anggota tubuh mereka yang bekerja, kesehatan mereka dapat mengalami masalah, dan masalah tersebut membuat kelainan dalam hal berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Maka, untuk meningkatkan fungsi dari lingkungan sosial diperlukan adanya sebuah bantuan berupa program atau layanan khusus bagi para penyandang disabilitas (Setyaningrum, 2018).Â
Tunadaksa cenderung tidak mampu mengembangkan kreativitasnya akibat dari pandangan negatif dari orang-orang di lingkungan sosialnya yang menganggap bahwa mereka merepotkan sehingga dikucilkan. Walaupun hal tersebut tidak terjadi kepada semua penyandang disabilitas, tetapi tetap saja tidak dapat terjamin nantinya bahwa yang tidak dikucilkan tersebut dapat berkembang di lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya.Â
Pada atlet penyandang disabilitas seperti Herman, perlu dilakukan sebuah pembimbingan agar mereka siap menghadapi berbagai permasalahan dan juga latihan keras yang kerap dilakukan oleh atlet pada umumnya. Menurut Oktaviasari (dalam Setyaningrum, 2018) menyatakan bahwa memotivasi seorang penyandang disabilitas untuk menjadi seorang atlet tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran tinggi dan terlebih lagi untuk membina penyandang disabilitas yang tadinya tinggal di jalanan dan juga atlet yang disabilitasnya tidak sejak lahir, melainkan disebabkan oleh kecelakaan, seperti yang dialami oleh Herman.Â
Adanya Program pelatihan untuk menjadi seorang atlet paralympic bagi para penyandang disabilitas ini merupakan salah satu bentuk dari kepedulian pemerintah, selain itu lembaga lainnya yang terkait juga secara tidak langsung telah berkontribusi dalam menyejahterakan para penyandang disabilitas.
Di balik program tersebut, rupanya banyak sekali dari mereka yang tadinya hidup di jalanan dan sempat menjalani hidup sebagai seorang atlet, terpaksa harus kembali lagi hidup di jalanan. Tentunya hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Namun, yang diperhatikan selama ini adalah, apakah pemerintah benar-benar peduli akan inklusifitas dan kesejahteraan disabilitas, baik yang memang pernah menjadi seorang paralympic ataupun yang tidak.Â
Bantuan-bantuan dari dinas pemerintah rupanya tidak sepenuhnya dapat membuat para penyandang disabilitas ini merasakan hidup yang sejahtera. Dengan keterbatasan yang mereka punya, mereka hanya berharap agar bisa mendapatkan bantuan dan juga hidup dengan sejahtera seperti yang dijalani oleh orang-orang pada umumnya.Â
Tindakan pemerintah atas penyandang disabilitas juga cenderung lambat, bisa dibilang kalah dengan rakyatnya yang saat ini sudah lebih banyak mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Media sosial merupakan salah satu wadah untuk menyebarkan informasi bantuan bagi para penyandang disabilitas yang hidupnya belum sejahtera. Hanya dengan kata kunci "X (twitter) do your magic" maka akan banyak sekali netizen yang memberikan bantuan mereka baik berupa tunai maupun berupa bantuan jasa terhadap orang yang membutuhkan. Jika dilihat lagi, bantuan dari orang-orang yang berniat untuk membantu ini memang lebih terlihat dampaknya daripada harus menunggu bantuan dari pemerintah yang birokrasinya sangat berbelit-belit dan rumit, kalau seperti itu para penyandang disabilitas dan keluarganya mungkin akan pusing duluan sebelum mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya tersebut.
Jika begitu, apakah dapat dikatakan bahwa pemerintah sudah memperhatikan dan mempedulikan kesejahteraan penyandang disabilitas? Kita sebagai rakyat biasa tentunya 'geregetan' akan gerak lambat yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dan meratakan kesejahteraan rakyatnya yang sampai saat ini belum dapat teratasi. Harapan kedepannya orang-orang di pemerintah yang berasal dari generasi muda dapat memperbaiki masalah ini sehingga tidak ada lagi penyandang disabilitas yang hidupnya makin menderita karena haknya tidak terpenuhi. Kalau bukan mulai dari kita, siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H