Atrikel ini berisi analisis mengenai tindakan Rusia yang akhirnya memilih untuk melancarkan Invasinya ke Ukraina. Rusia mengawali invasinya pada tanggal 24 Februari 2022, tepatnya pukul 05.00 Waktu Eropa Timur (10.00 WIB) yang di umumkan langsung oleh presiden Vladimir Putin melalui pidato di konfrensi pers. Hal tersebut menyebabkan banyak tanggapan dari khalayak internasional. Banyak yang berangapan bahwa yang di lakukan oleh Rusia merupakan hal yang tepat da nada juga yang beranggapan bahwa hal yang di lakukan oleh rusia ini adalah tindakan yang salah. Banyak pemimpin dunia yang mengecam tindakan yang di lakukan oleh Rusia, diantaranya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Tidak hanya itu, AS dan UE juga membantu langsung Ukraina dengan mengirimkan bantuan persenjataan dan logistic. Dengan demikian, artikel ini akan membahas mengapa Rusia memilih untuk melakukan Invasinya terhadap Ukraina.Â
Parameter yang di gunakan penulis untuk dalam menjawab persoalan di atas yaitu menggunakan Prespektif/Pandangan dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu Realisme dan juga menggunakan Konsep Keamanan Tradisional. Konsep dan pandangan tersebut penulis di gunakan untuk menjawab pertanyaan mengapa Rusia memilih menggunakan kekuatan militernya, dan bukan menggunakan kekuatan Diplomasi. Didalam artikel ini akan berisi 4 bagian yaitu, penjelasan sejarah konflik Ukraina dan Rusia, Pandangan Realisme, Konsep keamanan tradisional dan kesimpulan.Â
Rusia vs Ukraina
Perpecahan antara Rusia dan Ukraina ini terjadi pasca selesainya perang dingin, yaitu runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Sejak saat itu Rusia dan Ukraina menjadi Negara merdeka yang masih terikat dalam perjanjian Commonwealth of Independence State (CIS). CIS ini berisikan 3 negara eropa timur pecahan Uni Soviet, yaitu Rusia, Ukraina dan Belarusia. Namun, antara Rusia dan Ukraina masing masing Negara memiliki ketidaksepahaman yang memicu ketegangan. Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina telah menyepakati perjanjian persahabatan antara kedua Negara yang bertujuan untuk menyelesaikan ketidaksepahaman. Dimana kedua Negara ini saling memberikan izin dan perjanjian bilateral yang menguntungkan kedua belah pihak.Â
Hubungan kedua kakak beradik ini memanas lagi sejak tahun 2014, dimana ketika itu presiden Viktor Yanukovych di gulingkan dari pemerintahannya melalui Revolusi yang menentang Supremasi Rusia. Presiden yang pro terhadap Rusia itu kabur dari kepemimpinannya yang menyebabkan Rusia kehilangan tangannya untuk mengontrol Ukraina. Hal ini dimanfaatkan Rusia untuk menganexsasi wilayah di semenanjung Crimea melalui reverendum sepihak. Selain itu, Kaburnya Yanukovych ini juga yang menyebabkan munculnya gerakan separatis di Ukraina Timur yang ingin memisahkan diri dari Ukraina dikarenakan keberpihakannya terhadap Rusia dan penindasan rakyat Ukraina barat terhadap Rakyat Donbas. Perang sipil antara Republik Rakyat Donbas dan pemerintahan presiden baru Ukraina pun tidak dapat terhindarkan. Dengan begitu Rusia menaruh dukungan terhadap pemerintah separatis Donbas untuk menentang pemerintahan Ukraina timur (Hipotesa 2022).
Angin berhembus kencang pada akhir tahun 2021, tepatnya pada bulan November, terdengar isu yang sangat jelas bahwa Ukraina melalui presiden nya Volodymyr Zelensky menyatakan ingin bergabung dengan Uni Eropa dan NATO. Hal ini langsung di respon oleh Rusia dengan mengirimkan 100.000 tentara bersama dengan peralatan tempur lainnya untuk latihan militer penuh di perbatasan Ukraina. Sejak saat itu juga para intelejen AS dan UE telah memberikan sinyal siaga kepada Ukraina bahwasanya Rusia ingin melakukan invasi militer terhadap Ukraina. Menangapi hal itu AS dan UE juga menerapkan sanksi ekonomi kepada Rusia yang telah memobilisasi pasukan besar besaran ke perbatasan untuk meredakan tensi Rusia.
Namun, Rusia nampaknya tidak menganggap sanksi ekonomi AS dan UE berarti bagi Rusia. Jalur negosiasi yang telah di bangun Jerman dan Turki pada bulan januari nampaknya terbuang sia sia. Pada tanggal 24 Februari 2022, Rusia tetap melakukan Invasi militer terhadap Ukraina. Dengan berdalih membantu Rakyat Donbas mencapai kemerdekaan, Rusia mulai merangsak masuk melalui kota kota perbatasan di bagian timur ukraina. Dimana daerah daerah itu memiliki perbatasan langsung dengan Rusia, dan Rusia menargetkan ibu kota Ukraina (Kiev) sebagai tujuan utama.Â
Realisme
Sedikit pengantar pada teori Realisme, ini merupakan salahsatu Teori klasik dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dimana aktor utama dalam berhubungan Internasional adalah Negara. Teori ini popular pada awal abad ke 19, dimana prespektif ini berhasil mengeser penggunaan prespektif Idealisme di kancah penstudi Hubungan Internasional. Realisme berangapan bahwa dunia Hubungan Internasionl ini bersifat anarkis, Negara adalahsatu satunya aktor dan sistem internasional tidak dapat mengatur kemauan suatu Negara. Realisme memiliki tokoh yang terkenal diantaranya Tuchydides, Niccolo Machiavelli dan Hans J. Morgenthau. Tuchydides melalui bukunya "The Hystory of Peloponnesian War"menegaskan bahwa terjadinya suatu perang diakibatkan oleh meningkatnya kekuatan militer suatu Negara. Machiavelli juga berpendapat Negara yang menggunakan Power dalam melakukan hubungan internasional akan lebih mudah untuk mencapai tujuan nasional yang di inginkan. Morgentau juga berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat haus akan kakuasaan dan kekuatan (Dugis 2016). Hal ini yang mendasari bahwa sebuah Negara tidak dapat terlepas dari sifat dasar manusia. Dimana perilaku Negara dalam interaksi internasional di gerakan secara rasional atas dasar kepentingan nasional. Berkaitan juga dengan power yang dimiliki suatu Negara, pasti Negara lain juga berlomba lomba untuk menyaingi power Negara tersebut.
Teori Realisme inilah yang mendasari invasi Rusia terhadap Ukraina. Dengan ingin bergabungnya Ukraina ke NATO berniat menciptakan balance of power antara kedua Negara. Namun, Rusia menggap hal tersebut sebagai ancaman dan beranggapan bahwa power yang dimiliki Ukraina setelah bergabung kedalam NATO dapat membahayakan Negara mereka. Tindakan yang di lakukan oleh Rusia juga menyebabkan Security Dilemma bagi Ukraina, dimana Rusia juga memiliki pakta pertahanan saingan NATO yaitu CSTO dimana Ukraina tidak tergabung di dalamnya. Dengan Ukraina memiliki keinginan untuk bergabung dalam UE dan NATO menyebabkan kepentingan nasional Rusia terganggu. Security Dilemma juga di rasakan oleh Rusia ketika warga sipil Donbas menjadi korban dalam serangan Ukraina barat ke Ukraina timur. Inilah yang menjadi alasan utama presiden Vladimir Putin mengerahkan "Oprasi Militer" ke wilayah ukraina timur. Dominasi AS dan UE di daerah eropa timur juga menjadi alasan utama Rusia menggunakan kekuatan militer nya untuk mengertak Sekutu. Terlihat ketika AS dan UE memberikan dukungan dengan tingkatan yang berbeda kepada Ukraina sebelum dan setelah Invasi. Pada sebelumnya AS dan UE terang terangan ingin mengajak Ukraina masuk ke NATO dan UE. Namun, setelah invasi AS dan UE berfikir duakali untuk mengajak Ukraina bergabung ke dalam NATO. Membuktikan bahwa hegemonic stability yang saat ini di miliki AS saat ini mendapat tantangan baru dari Rusia.Â
Keamanan Tradisional