Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Cyberbullying terhadap Sonya Depari di Sosial Media

17 Mei 2016   16:13 Diperbarui: 17 Mei 2016   16:37 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah tidak asing lagi bagi kita mengetahui kasus bullying yang terjadi pada Sonya Depari, khususnya di dalam sosial media. Proses bully yang dilakukan secara virtual pada sosial media disebut cyberbullying. Penyebab utama yang menjadikan Sonya sebagai ‘korban’ dari cyberbullying ialah berdasarkan perlakuan kurang menyenangkan oleh Sonya terhadap seorang polwan yang bernama Ipda Perida Panjaitan. Waktu dan tempat kejadian berada di Medan usai para siswa SMA melaksanakan ujian nasional pada tanggal 6 April 2016.

Sikap arogan dari siswi SMA I Metodhist itu keluar disaat membentak polwan yang berusaha menilang mobilnya. Pemberlakuan proses penilangan oleh polwan Ipda dimaksudkan untuk menertibkan para pelajar SMA yang sedang konvoi memperingati hari berakhirnya pelaksanaan ujian nasional. Akan tetapi, sambutan kurang baik diberikan oleh Sonya kepada polwan Ipda dengan cara membentak dan mengancam kepada beliau bahwa dia merupakan anak dari salah satu kepala kepolisian, Arman Depari di hadapan publik. Perlakuan buruknya berhasil direkam oleh masyarakat yang secara langsung menyaksikan dan tersebar secara luas baik melalui internet dan televisi.

Arman Depari, selaku kepala kepolisian yang namanya disebut Sonya sebagai ayah menyatakan bahwa beliau tidak memiliki seorang anak perempuan. Para netizen yang mendengar pernyataan tersebut langsung menyerang atau mem-bully salah satu sosial media milik Sonya seperti Instagram. Berbagai caci maki dilontarkan kepada Sonya bahkan muncul kreativitas untuk menyindir dalam bentuk meme dengan menggunakan wajah Sonya. Hasil yang diperoleh setelah menerima semua itu ialah Sonya menyadari bahwa arogansi yang dimilikinya justru memberikan kesalahan bagi pribadinya dan keluarganya, dan menyadari bahwa tiap individu harus berhati-hati dalam berperilaku.

Mengapa pada kasus ini saya lebih menyetujui bullying sebagai tindakan lanjut di dalam cyberspace?

Sebelum membahas proses bullying pada Sonya, terlebih dahulu mengetahui apa itu cyberspace. Cyberspace merupakan wadah bagi seseorang dalam melakukan proses komunikasi di dalam dunia maya, salah satunya dengan menggunakan sosial media. Di dalam cyberspace, komunikasi yang terjadi diibaratkan secara langsung dalam dunia nyata.

Akan tetapi, fakta yang dilakukan kita hanya berkomunikasi secara tidak real melalui perantara tertentu seperti handphone, webcam, dll. David Bell mengatakan bahwa cyberspace hidup dalam imajinasi, fiksi dan cerita tentang dunia kepada diri kita. Sedangkan untuk cyberculture sendiri ialah pandangan terhadap bagaimana cara seseorang bisa berinteraksi dari dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya melalui bantuan teknologi digital.

Mengetahui tumpulnya hukum di Indonesia sekarang ini, maka strategi yang bisa dilakukan oleh hampir keseluruhan masyarakat untuk menghakimi sesuatu yang bernilai salah ialah dengan menggunakan dunia maya. Hukum di Indonesia ini diibaratkan oleh sebuah pensil yang berdiri tegak degan posisi ujung di bawah dan pangkal di atas. Tumpul bagi para petinggi atau yang memiliki derajat yang lebih tinggi namun tajam bagi di luar kalangan tersebut.

Sonya di bully berdasarkan perbuatan kurang baik yang dilakukannya kepada polwan Ipda Perida Panjaitan. Terungkap juga bahwa keluarnya rasa nepotisme terhadap polwan tersebut dengan mengancam beliau menggunakan salah satu nama kepala kepolisian yaitu Arman Depari sebagai ayahnya. Dari perbuatannya tersebut kita dapat menilai kurangnya moral dan etika anak Indonesia masa kini terhadap orang yang menegur atas kesalahannya tersebut. 

Para netizen berhasil dibuat geram dan mengeluarkan rasa kekesalan serta teguran terhadap arogansi yang dimiliki oleh Sonya. Melihat dari segi realita bahwa generasi muda zaman sekarang sudah mengenal gadget dan sosial media, maka tindak terbaik selain ditindak lanjuti oleh hukum yang masih lemah di Indonesia ialah dengan menggunakan internet pada sosial media.

Caci maki yang dilontarkan bertubi-tubi pada sosial media, khususnya Instagram miliknya berhasil membuat siswa SMA 1 Metodhist tersebut menyesali perbuatannya. Walau efek samping yang diberikan kepada siswi tersebut ialah depresi dan rasa malu yang hebat, serta efek sama yang diterima kepada keluarganya. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Alvin Toffler tentang Future Shock. Future Shock ialah sesuatu yang terjadi pada seseorang atau kelompok tertentu yang mana menyebabkan perubahan secara spontan dan bisa mempengaruhi seseorang itu untuk kedepannya.

Selain mengalami depersi, pengaruh yang dirasakan Sonya setelah menerima bullying di media sosial ialah dengan memposting kalimat bijak yang dibuat oleh Bapak BJ. Habibie di dalam akun Instagramnya. Berkat perlakuan secara cepat oleh para ‘hakim’ di dunia maya, membuat pribadi seseorang yang dinilai salah di mata publik menjadi lebih baik dibandingkan ditindak lajuti dengan proses hukum yang masih lemah di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun