Mohon tunggu...
khanifudin putra
khanifudin putra Mohon Tunggu... -

aku anaknya periang dan tidak manja walaupun nda punya saudara.anaknya jutek...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Tibalik Tembok

16 Mei 2011   08:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerita di Balik Tembok

Suara kran dibuka tedengar hingga kamarku. Aku terbangun. Kulirik jam yang bertengger manis di dinding kamar. Pukul tiga dini hari. Rasa kantuk kembali menyerangku, tapi suara air yang mengalir itu mengingatkanku untuk segara memadu kasih denganNya.

*****

“ Penasaran ngga?” pertanyaan Ina tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Ina teman satu kosku. Kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Jadi tak heran jika ia pun mendengar hal yang sama dengan yang kudengar. Memang apa yang kudengar?

Sudah enam bulan aku tinggal disini. Di sebuah permukiman terpadat yang pernah aku ketahui. Aku sendiri tak betah tinggal disini. Sumpek, tak ada celah, bahkan hanya untuk sinar matahari untuk sampai di kamarku. Tapi harus bagaimana lagi. Pemukiman ini adalah tempat terdekat dengan kampus tempatku menuntut ilmu. Orang tuaku juga tak membekaliku dengan fasilitas ekstra untuk bertransportasi. Yah, tak apalah, tak ada salahnya. Lagipula tempat ini cukup strategis. Berbagai fasilitas seperti Warnet, fotocopy, rental juga penjual beraneka ragam makanan berkumpul di pemukiman ini. Tidak heran jika harga sewa sebuah kamar di tempat ini melambung tinggi meskipun tempatnya tidak nyaman.

Lalu suara apa yang kudengar? Oya, hampir saja lupa. Karena kepadatan tempat inilah cerita itu dimulai.

Rumah-rumah berjejal disana-sini. Saling berebut untuk menjadi yang lebih unggul. Nyaris tak ada celah. Hanya tembok pembatas yang juga berfungsi sebagai tembok kamar yang menjadi pemisah antara rumah yang stu dengan yang lain. Jadi tidak heran jikasuara tetangga terdengar jelas meski tak ada niat untuk menguping.

Aku yang terbiasa hidup di desa dengan pekarangan kosong yang mengitari rumah tentu sangat terusik dengan hal ini. Mungkin ini terlampau biasa bagi orang-orang yang memang sudah terbiasa hidup dikota dan telah berbaur dengan kehidupan kota. Tapi bagiku yang setiap pagi slalu disambut dengan kicauan burunng-burung liar dan kini harus berubah dengan suara manusia dengan berbagai tingkatan emosi tentu meninggalkan kesan tersendiri.

Mulai dari percakapan biasa yanng kadang diselingi tawa, hingga pertengkaran kecil dan lontaran kata-kata tak semestinya terdengar jelas di telingaku. Bahkan ketika dini hari yang menjadi alarm terampuhku saat ini.

“ Hai, malah nglamun! Penasaran tidak?” Ina kembali membuyarkan lamunanku.

“ Iya she, tapi mau gimana lagi? Kita ngga kenal mereka. Lagian rumahnya tersembunyi. Kayaknya ngga ada jalan masuk kesana kecuali lewat jendela deh,” jawabku. Ina manggut-manggut. Kami terdiam.

Pagi tadi pertengkaran hebat terjadi. Tangis anak-anak pun mewarnai. Jika itu terjadi didesaku pasti seluruh penduduk kampung akan egera mendatangi rumah mereka. Bukan hanya karena menggangu ketenangan warga, tetapi juga rasa kekeluargaan mereeka masih tinggi. Mereka masih perduli terhadap tetangganya.

“ Bagaimana kalu tanya ibu kossaja?” Usul Ina. Ia juga berasal dari desa yang kehidupannya tak jauh berbeda dengan desa asalku. Tapi aku menggeleng. Ibu kos pasti sudah sangat tau tentang hal ini, tapi sepertinya ia tak perduli. Bukankah ia sendiri juga seringkali bertengkar dengan suaminya dan pastinya akan terdengar jelas dirumah-rumah tetangga. Tapi tak pernah adaa tetangga yang datang untuk meleraai dan berusaha menjadi penengah. Akhirnya rasa penasaaraan itu kembali ku pendam.

******

Suara kran yang dibuka kembali membahana di kamar. Lagi-lagi suara itu membangunkanku. Kulirik jam dinding. Masih pukul tiga kurang lima menit. Waktunya Qiyamul lail. Tapi rasa kantuk itu tak juga pergi dan menari-nari di kelopak mataku.

Sebuah percakapan kecil sayup-sayup kudengar. Sebuah pembicaraan yang mengisyaratkan mereka akan melaksanakan sholat. Aku jadi sadar, suara kran yang berasal dari seberang tembok kamarku lah yang setiap pagi membangunkan tidur lelapku. Mereka yang telah berjasa mengusir bisikan setan yang terus terngiang-ngiang ditelingaku. Bisikan apalagi selain bisikan agar aku meneruskan tidur malamku. Tapi berkat suara kran itu, aku bisa mengenyahkan bisikan-bisikan itu.Tentu aku harus mengucapakaan terimakasih kepada mereka.

******

Suara gela pecah tiba-tiba terdengar sangat nyaring. Benda itu seperti menghantam tembok kamarku. Apakah mereka marah karena setiap kali aku berusaha menerka bagaimana sebenarnnya kehidupan mereka?

Tapi tak ada suara seseorang yang memanggil namaku. Malah yang kudengar adaalah suara wanita yaangmenjerit histeris. Lalu disusul suara pria yang memaki tiada henti. Wanita itu sepeti hendak membalas makian tersebut, namun suaranya tercekik isak tangis.

Bayangan-bayangan liar tentang apa yaang terjadi di balik tembok menari-nari di kepalaku. Ah, tidak!Menyeramkan karena yang kulihat adalah darah yang berceceran dimana-mana. Tak lama berselang, suara wanita lain yang kedengaranya lebih tua datang membujuk mereka. Tidak banyak yang dikatakan, tapi akhirnyasuara si pria tak terdengar lagi. Hanya tersisa isak tangis pilu seorang wanita.

Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Aku mencoba mengintip dari jendela yang tingginya hampir sama dengan tinggi badanku. Tak nampak apa-apa kecuali sebuah kamaar mandi dengan perkakasannya. Tapi isak tangis itu belum berhenti. Lalu Kuambil beberpa bantal untuk menopang tubuhku. Akhirnya kulihat seorang wanita separuh baya dengan rambut setengah terurai yang sangat berantakan. Matanya nampak masih meneteskan air mata dengan deras.

Aku ingin menghibur wanita itu. Meski hanya dengan memberinya beberapa helai tisu. Tapi nanti apa yang akan ia katakan? Mungkin ia akan marah dan mengataiku kurang ajar karena telah mnguping pertengkarannya.Tapi ya sudahlah, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku tak mengenalnya, iapun tak mengenalku. Tak ada hal yang mengharuskanku ikut campur dalam masalah mereka. Biar mereka mengurus masalaahnya endiri, daan aku, bukankah aku juga punya urusanku sendiri?

Wah, ternyata aku sudah jadi bagian dari orang-orang kota. Yah, mau bagaimana lagi. Mau tak mau aku harus segera menyesuaikan dengan kehidupannya.Sebuah arus yang melahirkan sifat baru dalam diri.Ketidak pedulian. Begitu kah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun