Semuanya saya lakukan demi kedua anak saya, laki-laki dan perempuan. Yang pertama mau masuk sekolah dasar (SD) dan anak kedua masih netek di ibunya.
Lima jam saya di markas petugas. Setelah laporan dicabut dalam bentuk kesepakatan tertulis, saya keluar dari markas. Saya tidak benar-benar bebas. Saya tidak merdeka. Sebab, kehidupan di luar sana tidak seperti yang saya bayangkan.
Saya pikir merdeka itu bebas dari kemiskinan, bebas dari keterpurukan, dan bebas dari penjajahan. Ternyata saya salah. Justru sebaliknya. Saya melihat anak-anak terpuruk.
Mereka terlihat tidak berjualan, namun hanya menunggu welas asih orang lain untuk membeli kue yang dijualnya. Mereka, anak-anak itu duduk di trotoar jalan raya, dari pagi hingga larut malam. Atau jangan-jangan mereka dijajah, dieksploitasi? Apakah itu namanya merdeka? 78 tahun negara ini menyebut dirinya telah merdeka.
Di lain tempat, terlihat pengemis, pengamen, dan tukang becak tertidur di trotoar jalanan hingga depan rumah toko (ruko) yang sedang tutup. Mereka diselimuti dinginnya malam.
Kalau begini, saya lebih baik nasibnya di dalam bui saja. Di balik jeruji besi, saya mendapat makanan gratis yang sudah terjadwal. Cukup duduk saja, makanan itu menghampiri dari kolong jeruji.
Saya tiba-tiba tercenung. Isi kepala saya brisik. Itu masuk seakan-akan suara kedua anak saya. Yang laki ingin segera masuk sekolah. Sedangkan yang perempuan, masih netek itu menangis-nangis. Nasib baik di dalam penjara itu hilang seketika. Saya bergegas mencari pekerjaan, menyusuri riuh pikuknya jalan raya.
Tiba-tiba mata saya tertuju ke kertas bertulis yang tertempel di dinding masjid. Kertas itu berpesan, bila di sana membutuhkan seorang untuk membersihkan masjid. Tanpa berpikir panjang, saya mencari pengelola masjid dalam kondisi masih mengenakan kaos yang robek. Saat ditemui, pengelola masjid mengatakan, lowongan pekerjaan sudah ditutup. Sudah ada orang lain diterima terlebih dahulu. Ternyata, kertas di dinding masjid itu sudah sebulan lebih tertempel. Mengetahui saya datang, pengelola masjid melepasnya.
Saya kemudian kembali mencari pekerjaan lain. Saya terdampar bersama lima orang jalanan. Satu di antara mereka seorang maling sepesialis motor. Seminggu tidur bersama dengan mereka di gubuk tak punya pemilik, saya mulai akrab. Kami berbagi keluh kesah.
Di antara mereka ada yang bekerja menjadi kuli bangunan, namun tidak cukup menyewa tempat tinggal dari upah yang kecil. Ada juga perantau yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan si maling, dia berbuat demi anaknya yang berusia dua bulan sedang terbaring sakit di rumah. Dia membutuhkan uang untuk biaya perawatan di rumah sakit.
Saya menangis dalam batin. Akibat uang, manusia menjadi terlantar atau mendekam di bui.