Aku bertemu dengan Siska mungkin enam bulan yang lalu ketika datang ke acara hajatan seorang saudara. Pertama kali melihatnya, aku langsung saja terpesona. Wajah dan warna kulitnya yang membuatku tertarik. Dia lewat begitu saja di depan para tamu. Para tamu pun memandanginya agak dalam. Beberapa mengelus dada dan ada juga yang membicarakan tentang kekurangan fisiknya. Saat itu aku tak tahu mengapa perasaanku terasa sangat nyaman. Terlebih ketika pertama kali dia melihat ke arahku beberapa detik dengan tatapannya yang hangat dan begitu lugu. Hari itu, aku belum tahu siapa namanya.
Seminggu setelah hari itu, aku berkunjung lagi ke tempat saudaraku. Aku berbicara panjang lebar dan sedikit basa-basi pada kakak sepupuku dan bertanya tentang gadis yang waktu itu. Ya, tentang Siska gadis dengan separo tangan kanan yang waktu itu aku lihat.
“ namanya, Siska. Anake tetangga sebelah sing jualan gorengan. Dia kayak gitu dah dari lahir “ kata Mas Imran, kakak sepupuku
“ kasihan yo, manis orangnya. Kelihatannya lugu gitu yo “ kataku sambil melihat ke warung Siska
“ yo memang. Anaknya sopan banget, yo memang lugu ananknya. Gak kaya cewek jaman sekarang “ kata Mas Imran
“ maksudnya pie mas ? “ tanyaku heran
“ halah, gak usah banyak tanya koe iki.Tak panggilke orange “ kata Mas Imran sambil berjalan ke warung Siska
Perasaanku jadi gugup sekali, Mas Imran kembali dan duduk lagi di teras bersamaku . Selang beberapa menit, ternyata Siska membawakan sepiring gorengan. Hingga akhirnya Mas Imran mengenalkanku pada Siska. Hingga saat itu aku sering sekali main ke tempat kakak sepupuku. Dan hanya ingin ketemu Siska. Aku sama sekali tidak risih atau pun keberatan tentang keadaan fisiknya. Setiap hari aku nongkrong di warungnya, bercanda bersama kadang Siska curhat tentang hidupnya. Hingga aku semakin akrab dengan Siska dan keluarganya. Dan perasaanku kepadanya pun semakin tebal saja. Tiap kata yang dia curhatkan kepadaku, aku jadi semakin tahu bahwa dia hanya punya sedikit teman. Kadang dia sempat menangisi keadaan fisiknya, tapi dia tetap semangat mengerjakan apapun dalam hidup. Semuanya dia kerjakan dengan satu tangan.
Yang kuingat waktu itu hari Minggu  Aku berniat mengajak Siska menikmati senja di Pantai Marina. Saat kami berjalan berdua,terkadang beberapa orang memperhatikan lengannya. Aku tahu hatinya pasti teriris, aku coba menghiburnya. Dari awal aku tidak pernah memandang rendah atas kekurangan fisik Siska. Karena aku tidak peduli dengan semua itu, apalagi dengan omongan orang sekitar.
Kami duduk di atas bebatuan dan sinar senja. Beberapa saat, terlihat matahari hampir sirna. Aku genggam tangan kirinya. Dia pun kaget dan menatap mataku. Seperti biasanya, tatapan matanya terasa hangat.
“ kalau liat senja seperti ini, apa sih yang kamu rasain Sis ? ‘’ kataku masih menggenggam tangannya
“ hangat, tenang, damai banget “ jawabnya
Diiringi dengan semburat senja, Aku menyampaikan isi perasaanku kepadanya,
“ Sis, ijinkan aku menjadi bagian dari dirimu Sis. Ijinkan aku menjadi orang yang selalu membuatmu nyaman setiap hari. Seperti senja ini “  kataku.
“ Ijinkan aku menjadi jari-jari tanganmu, kita gapai senja ini setiap hari. Kita rasakan hangat dan damainya senja ini Sis. Kita raih dunia kita berdua Sis“
Siska tak menjawab, matanya berlinang. Sejenak dia melihat tangan kanannya yang hanya separo
“ Aku tak peduli Sis, dengan apapun kekuranganmu. Aku menyayangimu apa adanya. Dari awal kamu menatap mataku “
Siska sama sekali tak menjawab. Air matanya mulai jatuh. Kekecup jemari tangan kirinya dan pangkal lengannya yang hanya separo. Dia mengangguk, diiringi senyumnya yang mengembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H