Mohon tunggu...
Fithrah NurKhalishah
Fithrah NurKhalishah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat Datang

Hey

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Mahkota dari Lubna untuk Ayah Ibu di Surga

26 April 2021   21:54 Diperbarui: 26 April 2021   22:29 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lubna Sari Siswanto, 20, (pojok kanan) sedang tadarus Al-Qur'an bersama sahabat-sahabat 

PONTIANAK - Bagi keluarganya, Lubna Sari adalah secercah sinar suci yang menerangi kehidupan. Lubna adalah sosok gadis yang begitu tekun dan pantang menyerah, sangat sesuai dengan motto hidupnya "Hidup Mulia atau Mati syahid". Menurut Lubna, hidupnya di dunia yang hanya sekali harus benar-benar bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.Bagi sahabat-sahabatnya, sosok Lubna adalah teladan yang menyejukkan hati, bagai pohon rimbun yang meneduhkan di tengah padang pasir yang panas.

Lubna Sari Siswanto, nama lengkap gadis berusia 20 tahun yang sangat tekun mengejar cita-citanya yang mulia. Yaitu menjadi Hafidzah alias Penghafal Al-Qur'an. Masa muda yang biasanya dipenuhi kesenangan, bahkan hura-hura tak berlaku dalam hidupnya. Baginya, menuntut ilmu terutama ilmu agama adalah kewajiban yang tak akan dilakukannya dengan main-main. Berawal dari Pondok Pesantren Tahfizh Al-Fatah Singkawang, Kalimantan Barat yang sangat jauh dari fasilitas memadai. Pondok Pesantren yang jauh dari kota tersebut hanya terdiri dari dinding kayu yang lusuh, tak ada kipas angin apalagi pendingin seperti 'air conditioner' dan airnya yang keruh. Terlebih, makanan yang disiapkan di Pondok Pesantren sangat jauh berbeda dengan apa yang biasa disediakan di rumahnya. Segenggam nasi dan lauk potongan tahu tempe yang tak mengenyangkan menjadi makanan sehari-hari di Pondok. Namun, dari kesulitan-kesulitan itulah Lubna belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih bersyukur. Hal-hal seperti berbagi kamar, makanan, bahkan terjebak banjir sudah biasa dialami olehnya. Demi menuntut ilmu, pantang bagi Lubna untuk pulang ke rumahnya yang nyaman. Terkadang, Lubna mengingat Kembali kejadian tersebut sembari tertawa kecil, dalam hatinya ada rasa bangga telah melalui tantangan tersebut.

 Lubna mulai memasuki Pondok sejak usia 15 tahun, usia yang terbilang muda untuk meninggalkan rumah dan jauh dari orangtua. Sejak awal, sudah terbersit niatan untuk menjadi seorang penghafal Al-Qur'an. Namun, Pondok Pesantren Al-Fatah bukanlah pilihan Lubna, melainkan pilihan orangtuanya. Dengan bijak, orangtua Lubna menempatkan buah hati mereka di tempat yang dapat memberikan banyak pelajaran bagi Lubna.  Terbukti, dalam beberapa bulan Lubna menjadi terbiasa dan betah di Pondok Pesantren tersebut. Bahkan, Lubna menjadi sangat bersyukur sebab masih banyak sahabatnya di Pondok tersebut yang tidak seberuntung dirinya. Mayoritas santri di pondok tersebut berasal dari keluarga kurang mampu maupun anak yatim-piatu. Di antara teman-temannya, Lubna tergolong berasal dari keluarga yang berkecukupan. Di rumahnya Lubna tidak jarang menikmati makanan enak dan fasilitas seperti kamar tidur yang bagus dan bersih. Namun, seiring waktu Lubna menjadi terbiasa hidup sederhana dan apa adanya.

Hari kelulusan di Pondok Pesantren Al-Fatah tiba, Lubna berhasil memboyong 12 Juz Hafalan Al-Qur'an dan Ilmu-Ilmu Pendukung Lainnya. Lubna berhasil menghafalkan lembar demi lembar Al-Qur'an tersebut tanpa meninggalkan kewajiban dalam mata pelajaran umum. Namun, perjuangan tak terhenti begitu saja. Lubna tak akan pernah puas sebelum mengkhatamkan seluruh isi Al-Qur'an. Akhirnya, ia memutuskan untuk terbang ke Jawa Timur, tepatnya Kota Malang. Lubna memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya di tempat khusus untuk belajar Al-Qur'an, yakni Tahfizh Camp Malang. Di Tahfizh Camp, pembelajaran dan setoran hafalan dilakukan lebih intensif lagi. Lubna rela untuk meninggalkan bangku universitas demi menyelesaikan hafalannya. Meski awalnya ia sempat gundah dan tidak percaya diri dengan teman sebayanya yang sudah duduk di bangku universitas.

Di Tahfizh Camp, keadaan berbalik sepenuhnya. Jika di pondok sebelumnya Lubna harus hidup apa adanya, maka di Tahfizh Camp fasilitas yang disediakan terbilang sangat lengkap dan mewah untuk sekelas Pondok Pesantren, tak ayal Pondok Pesantren rintisan Ustad Yusuf Mansur ini memakan biaya yang tak sedikit. Alih-alih merasa senang dengan fasilitas pondok yang bagus, Lubna justru merasa tertekan dengan biaya pondok yang fantastis. Santri di pondok tersebut kebanyakan adalah anak dari pengusaha, pejabat, dan kalangan atas lainnya. Namun, hal tersebut memotivasi Lubna semakin kuat, bahwa ia tak boleh menyia-nyiakan jerih payah orangtua yang sudah membiayai Pendidikan Lubna di Tahfizh Camp tersebut.

5 tahun berjalan sejak awal dirinya menghafal, Lubna akhirnya berhasil mengkhatamkan hafalannya. Ada rasa bangga serta terharu yang bercampur aduk di dadanya. Semua keberhasilan ini tak lepas dari peran orangtua, asatidzah dan sahabat yang selalu mendukungnya. Terekam dengan jelas semua keringat dan air mata Lubna dalam mencapai impiannya tersebut. Dengan tersedu, ia melantunkan ayat suci Al-Qur'an disaksikan seluruh penghuni pondok dan juga kedua orangtuanya. Lubna menangis haru, begitupun semua orang yang menyaksikan. Hingga puncaknya ia menjadi peserta dalam Wisuda Tahfizh Nasional (22/10/20) yang disaksikan oleh ribuan orang dari seluruh penjuru Indonesia. Meskipun harus dilakukan secara online karena pandemic, tak mengurangi rasa haru dari seluruh peserta. Tiba Namanya disebut, Lubna dan keluarga begitu terharu. Pasalnya, bukan gelar duniawi ataupun harta berlimpah yang dicarinya, melainkan cinta dari yang Maha Kuasa. Kedua orangtuanya tak kuasa menahan tangis, putri kecilnya telah memberikan seluruh perjuangan untuk memakaikan mahkota kehormatan bagi kedua orangtuanya di surga kelak.

Seorang Hafidzah, bagi Lubna bukanlah gelar untuk membanggakan dan menyombongkan diri. Bukan pula ajang untuk merasa lebih taat dari yang lainnya dan kemudian menjatuhkan orang lain yang tak paham agama. Baginya, hal tersebut merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Semua lini kehidupan yang dijalaninya tak boleh terlepas dari nafas Al-Qur'an. Dan perjuangannyta dalam mengulang serta menjaga hafalannya akan terus dilakukan hingga akhir hayat.

           

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun