BUKANLAH mengada-ada apabila kerap saya nyatakan, bahwa yang dominan dalam diri penguasa Aceh sekarang adalah syahwat bagi-bagi tampouk (kekuasaan/jabatan/kedudukan) dan tumpouk (harta/kekayaan).
Lihat saja pernyataan salah seorang aparat penguasa Aceh sebagaimana ditulis media massa online (30/10/2013), dengan mengambil dalil, dalih dan alasan keinginan Menteri PAN dan Mendagri, “Bahwa regulasi yang berkaitan sekretariat Wali Nanggroe harus segera dipersiapkan. Perumusan tentang sekretariat Wali Nanggroe dipandang urgen. Qanun strukturnya akan dirampungkan secepatnya. Pemerintah Aceh secepatnya mengajukan Qanun struktur sekretariat Wali Nanggroe, sehingga setelah dilantik bisa langsung bertugas”.
Dengan dalih dan dalil seperti ini, agaknya Qanun struktur sekretariat Wali Nanggroe akan segera dibahas dan sim salabim, lam sklep akan disahkan, dimasukkan dalam Lembaran Daerah dan diimplemantasikan.
Ini berbanding terbalik dengan keinginan Mendagri ihwal Qanun Wali Nanggroe, Lambang dan Bendera agar direvisi, tetapi apit-apit awe (bersikeras) menolak keinginan dan usulan Mendagri itu, dengan alasan ia sudah sah karena proses pembahasan dan pengambilan keputusan sudah sesuai prosedur, sehingga bolak-balik dan mampir di beberapa kota di tanah air dengan menguras uang rakyat mempertahankan isi qanun-qanun itu.
Entahlah berdasarkan tawar menawar demi Wali Nanggroe qanun-qanun itu akan direvisi. Kalau perkiraan ini benar, maka benar pula pernyataan, bahwa Qanun Lambang dan Bendera adalah qanun antara untuk kemudian ada tawar menawar demi tampouk dengan nama dan kedudukan Wali Nanggroe, dan si empunya tampouk itu sudah jelas belaka, dengan kriteria/syarat yang sesuai dan disesuaikan dengannya.
Semangat untuk adanya tampouk yang berdalih bahwa ia anjuran Menteri PAN dan Mendagri tentang qanun struktur sekretariat Wali Nanggroe itu juga berbanding terbalik dengan tuntutan rakyat dan hal-hal yang pro-rakyat. Seperti Qanun KKR.
Demikian juga Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. Sudah sekian lama diminta untuk segera diwujudkan, tetapi sampai saat ini masih saja berputar-putar. Kalaupun sudah ada rancangannya, tetapi sebagaimana banyak disorot publik, ia terkesan asal-asalan. Bahwa isi rancangan qanun itu tidak mencerminkan esensi yang diharapkan.
Memang dalam proses penyusunannya ditempuh apa yang dinamakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam rangka mendengar pendapat dan masukan publik, niscaya isi qanun-qanun itu kelak memiliki bobot dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan publik, pro-rakyat.
Namun sebagaimana kerap kita baca kritikan beberapa elemen masyarakat di media massa rancangan qanun itu belum beranjak dari keinginan si empunya konsep.
Berdasarkan fakta dan realita demikian, saya harus mengatakan, sesungguhnya penguasa Aceh saat ini begitu bersemangat dalam upaya melampiaskan syahwat bagi-bagi tampouk dan tumpouk, tetapi memble apabila berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat.