Nama Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memang masih asing bagi masyarakat Indonesia. Padahal, jika konsepnya diterapkan dengan benar, BMT bisa menjadi salah satu solusi untuk kebangkitan ekonomi umat. Kok bisa?
Itu bisa terjadi karena BMT tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagian kecil pemilik modal (pendiri), dengan penghisapan pada mayoritas orang. Lembaga tersebut mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil kepada seluruh anggota.
Kok prinsip kerjanya terdengar seperti koperasi. Benar. Secara badan hukum koperasi syariah dan BMT sama, karena badan hukum BMT di awal berdirinya yaitu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) ketika masa Kepresidenan Soeharto. Namun, yang membedakan, BMT dijalankan dengan prinsip syariah Islam.Â
BMT pada 1983 disebut Baitul Ma'al, Baitul Qirat, Baitul Syirkah, dan Baitul Tamwil, dan lain-lain. BMT disatukan fungsinya oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia).
Pada masa Presiden Habibie, nama Baitul Ma'al digabung dan dibuat dua jenis, yaitu Tabarru' dan Tijari, karena dalam dalam praktiknya mengembang dua fungsi, yaitu fungsi sosial dan fungsi bisnis.
Pada tahun 2000-an diputuskan BMT dibawah naungan koperasi. Beberapa tahun kemudian, dasar hukum pada lembaga BMT sempat dibawah naungan koperasi serba usaha (KSU) karena mengacu pada UU No 25 Tahun 1992. Menurut UU itu, BMT harus dibawah naungan KSU dan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) hingga saat Kepresidenan Megawati.
Pada masa Kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono, badan hukum BMT berubah menjadi KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Pemerintah mengakui keberadaan dan manfaat BMT sebagai Baitul Ma'al yang berarti sosial dan Baitul Tamwil sebagai bisnis atau merujuk pada arti sesungguhnya yaitu Rumah Harta.Â
Di dalam Rumah Harta terdapat fisik dan non fisik, dimana fisik merupakan harta dan non fisik berbentuk ilmu pengetahuan. Jadi dalam operasional BMT tidak hanya berbentuk bisnis namun terdapat pula ilmu pengetahuannya.Â
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, badan hukum BMT harus kembali menurut UU No 25 Tahun 1992 yaitu dibawah naungan KSU atau KSP dan KJKS sudah tidak berlaku lagi.
Adapun modifikasi terhadap KSU menjadi 4 yaitu koperasi produsen, koperasi konsumen, koperasi jasa dan koperasi simpan pinjam. Terjadi perubahan kembali menjadi KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) atau USPPS (Unit Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah). Namun masih berkaitan dengan UU No 25 Tahun 1992 Â sebagai badan hukum.
BMT bisa menjadi salah satu solusi, karena memiliki pasar tersendiri, yaitu masyarakat yang enggan berurusan dengan bank yang prosedural. Karena itu kehadiran BMT ditengah-tengah masyarakat, diharapkan bisa menjadi jawaban atas ekonomi lemah.