Mohon tunggu...
Khalila Indriana
Khalila Indriana Mohon Tunggu... -

Mahasiswa fakultas ekonomi yang sedang mengikuti passion-nya untuk menulis. Penulis yang mencerahkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengabdianmu untuk Siapa?

21 Mei 2012   13:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Pengabdian. Mengasah jiwa sosial yang masih terserak oleh ego. Agar suatu saat dapat lebih banyak memberi manfaat bagi sesama...” (khalila_indriana)
Realitas kehidupan seringkali tak sejalan dengan yang kita inginkan. Namun, ketahuilah bagaimana cara Tuhan menyayangi hambanya. Agar kita semakin mengerti bagaimana cara mencintai sesama. Jika kita merasa lebih beruntung dikaruniai akal dan fisik yang sempurna, selanjutnya belajarlah bersyukur dengan melihat saudara kita yang mungkin kita rasa lebih tak berdaya dengan segala kekurangannya. Bukan, bukan untuk mencemooh mereka dan membanggakan yang kita punya. Lebih kepada melihat kebesaran Tuhan dalam penciptaannya. Kita yang di beri kelebihan diciptakan untuk melengkapi yang kekurangan. Alangkah indahnya. Namun kebanyakan manusia lupa.
Kepedulian sering di terjemahkan sebegai rasa belas kasihan. Tipis sekalI perbedaan dan cara memaknainya. Padahal, bagi saya kepedulian berarti pengambilan sikap yang menunjukkan rasa ikut bertanggungjawab, rasa memiliki dan rasa ingin berbagi. Bagaimana merasakan kekuatan yang kita miliki akan jauh lebih berharga untuk sebanyak-banyaknya untuk memberi. Bukan untuk menindas, mencibir apalagi mencaci. Sungguh, bukan karena kita patut dipuji dengan kelebihan yang kita sandang, apalagi dicap dermawan dengan jiwa sosial tinggi lantas kita pantas berbangga hati. Karena masih ada Dzat yang lebih Maha dari jiwa-jiwa yang lupa ini.
Saya terhenyak menyimak profil seorang dilayar kaca hari ini. Pengabdian seorang bapak penggagas sebuah yayasan bagi orang sakit jiwa. Tak kurang hampir 100 orang penghuni yang menjadi binaannya. Ia mengabdikan seluruh hidupnya, tenaga, waktu, fikiran dan tentu saja biaya untuk merawat para manusia yang hilang akal. Yang seringnya kita temui, dibiarkan berkeliaran di jalanan. Kadang tanpa busana, mengais makanan di sampah, atau apa saja yang ia temukan. Beruntung jika masih ada beberapa yang peduli untuk memberinya makanan sekedarnya karena iba. Namun bapak satu ini lain, lain dalam memperlakukan mereka. Mereka di ajak untuk tinggal di sebuah barak penampungan bernama yayasan. Yayasan yang ia bangun dengan pondasi kepedulian, mengabdi atas namakemanusiaan. Ia tanggalkan jabatan kepegawaiannya. Ia tak lantas selamanya menjadi ‘kacung negara’. Tapi berfikir bagaimana hidupnya lebih bermanfaat bagi sesamanya.
Tak banyak modal yang ia punya. Sebuah lapak bekas terminal ia sulap menjadi rumah yang ‘nyaman’ bagi manusia-manusia itu. Manusia yang berwujud namun jiwanya terbang entah kemana. Ah, ini sebuah barak yang tak ubahnya sel, dengan jeruji bambu semakin menyatakan jiwa-jiwa disini tengah mengembara... Gelap, karena jika terang mereka tak mampu terlelap karena saling terusik satu sama lainnya. Namun semangat bapak pengasuh yayasan tak pernah padam, justru makin menyala-nyala ikut menerangi jiwa-jiwa yang hampa.
Belajar tentang pengabdian, kita sebagai abdi. Pelayan, menjadi pelayan yang baik dalam melayani saudara kita yang membutuhkan tangan-tangan emas yang mau menyentuh mereka. Bukan seperti kenyataan ironis, banyak pejabat aparatur negara justru minta ‘dilayani’ karena jabatannya. Padahal ia dipercaya sebagai pelayan publik! Masih adakah seberkas rasa malu di relung hati mereka?
Sedikit berfikir dan banyak bertindak. Tidak dipungkiri, itulah yang paling berguna untuk dilakukan. Bukan sekedar lisan atu janji belaka. Apalagi dalih ketidakmampuan. Sama saja meragukan pertolongan dari Tuhan, bukan? Belajar mengasah kepekaan, bukan acuh tak acuh dan membuang muka. Apa yang kita lihat, cobalah rasakan. Bayangkan jika orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut adalah saudara kita sendiri. Alangkah angkuhnya diri kita mengelak untuk tidak merasa terguncang dan ingin meringankan beban hidup mereka.
Baiklah, mungkin bentuk pengabdian yang sanggup kita upayakan kita sesuaikan dengan kemampuan dan inisiatif kita sendiri. Akan jauh lebih bijak dan tak memaksakan diri. Apabila kita belajar untuk menjadi pribadi yang ingin sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain, tentu kita tak punya banyak waktu mengeluh ini-itu. Karena diluar sana banyak tugas yang selayaknya kita kerjakan bersama. Asah kepedulianmu, dan belajar untuk mengabdikan diri bagi kehidupan yang singkat ini. Hidup hanya sekali, lakukan yang berarti. (Ahad, 12 Mei 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun