Sering kita saksikan ketika seorang anak hiperaktif, berlari kesana kemari, memanjat dan kemudian melompat. Melihat anak yang tidak bisa diam bahkan malah membuat kita yang melihatnya lelah. Apalagi orang tua sang anak yang terus mengikuti gerak anak dalam penjagaan. Lalu bagaimana jika orang tua sang anak lelah? Bukan hal yang aneh jika kita mendengar kalimat "Jangan lari-lari, nanti jatuh!" "Jangan berisik!" "Jangan menangis, malu dilihat orang lain" dan masih banyak lagi contoh kalimat larangan pada anak yang sering terucap.
"Itu bukan kalimat yang keluar ketika orang tua lelah, kami khawatir anak akan terluka ketika berlari atau memanjat, kami khawatir jika anak sakit jika terlalu lelah, itu adalah bentuk sayang kami untuk anak-anak kami".
Pola asuh berlebihan atau yang lebih sering disebut strict parents, pola asuh yang sayang hingga mengekang. Biasanya disebabkan orang tua yang memiliki ketakutan akan kegagalan anaknya. Pola asuh ini bukan sesuatu yang dapat sepenuhnya disalahkan, karena yang dilakukan kebanyakan dari orang tua ini masih atas dasar kasih sayang.
Jadi, dimana letak kesalahan pola asuh berlebihan ini dan apa dampaknya pada kesehatan mental anak?
Menurut teori Erick Erikson (dalam Kurniawati, dkk., 2019), dimulai dari kepercayaan anak ketika bayi, dilanjut dengan otonomi rasa ragu dan malu di usia 1-3 tahun, lalu anak mulai berinisiatif dan merasa bersalah ketika gagal yaitu pada usia 3-6 tahun, dan anak bekerja keras menunjukkan dirinya di usia 6-12 tahun. Jika perkembangan tersebut terganggu, anak akan kehilangan rasa percaya dirinya, anak takut salah dalam bertindak sehingga tidak memiliki insiatif. Anak yang diberi pola asuh berlebihan cenderung kehilangan jati diri karena tidak adanya rasa percaya yang diberikan, apa-apa gimana orang tua, hal ini juga dapat menyebabkan kecemasan berlebihan pada anak.
Padahal yang harus diperhatikan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran, dimana dengan kegagalan tersebut seseorang akan belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Dalam proses perkembangan perlu diperhatikan kesehatan mental anak, sesuai dengan hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dimana dalam pembelajaran perlu adanya lingkungan yang aman dan nyaman bagi pembelajar.
Pola asuh yang baik dan sikap positif lingkungan serta penerimaan masyarakat terhadap keberadaan anak-anak menumbuhkan konsep diri positif bagi anak dalam menilai diri sendiri. Anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan dipatkan dari lingkungan. Jika lingkungan masyarakat memberikan sikap yang baik dan positif dan tidak memberikan label atau cap yang negatif pada anak, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif (Emiliza, 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H