Hari Ahad kemarin, usai shalat Idul Adha, Tarsono memeluk erat bantal gulingnya. Tetangga yang lewat di depan rumahnya kerap menyapa, “No, ayo ke masjid, bawa parangmu.”
“Maaf, Kang, saya di rumah saja. Ntar kalau enakan, nyusul dech,” sahutnya.
Waktu terus berjalan... Seratus detik, dua puluh menit, tiga jam, dan seterusnya....
Adzan Zhuhur sudah dikumandangkan.Tarsono masih sendiri. Istrinya yang bekerja sebagai tukang cuci bergerilya di perumahan, dan baru pulang menjelang senja.
Tidak lama berselang, terdengar suara...
“Bapak Tarsono...”
“Ya, saya, Pak,” sahut Tarsono seraya bangkit dan keluar menuju halaman. Sebungkus daging kambing berbalut darah segar diserahkan.
Tarsono tersenyum. Selanjutnya, ia masuk ke dalam. Tak tahu apa yang dilakukan. Tidak lama berselang, terdengar suara lagi. Kali ini, suara yang terdengar terbilang merdu, masih belum terkontaminasi pubertas.
“Bapak Tarsono...”
“Ya, saya, Dik,” sahutnya sambil berselimut sarung kumalnya.
Satu bungkus daging kambing yang juga berbalut darah segar kembali diserahkan. Tarsono tersenyum.
Sore hari, saat lembayung senja menghiasi awan, Tarsono membakar arang. Beberapa potongan daging ditusuk rapi, seperti alat hitung yang biasa dimainkan anak-anak sekolahan. Ketika bara sudah menyala, Tarsono mendengar suara tetangganya riuh rendah bercengkrama. Suara dari empat rumah di sebelah kanannya.
“Aneh ya, kok aku tidak kebagian,” kata Sarinem, istri Tarsono Budi Santoso.
“Masak sih?!” tanya Bu Agus, tetangga sebelahnya, tak percaya. “Gak mungkin lah, Jeng. Lha wong semua warga di sini kebagian kok. Jangan-jangan ada yang keblinger kali...”
Tarsono tak mau mendengar obrolan mereka lagi. Ia terbirit-birit masuk ke kamarnya. Bara yang sudah menyala dipadamkan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H