Oleh Wahyudin*
Menyimak silang pendapat seputar akan diterapkannya kurikulum baru 2013, menggiring kita pada ruang perdebatan dan syak wasangka. Ada anggapan, kurikulum baru ini lebih berlatar belakang politis ketimbang mengedepankan konseptual fundamental pendidikan yang berorientasi jangka panjang untuk menjawab tantangan zaman dan pergaulan global. Anggapan lainnya, kurikulum ini hanya sekedar mengejar target penuntasan kinerja dari pemerintah sebelum Pemilu 2014. Pergantian kurikulum seakan menjadi hal biasa setiap kali pergantian menteri. Tanggapan masyarakat pun beragam, terbelah antara pro dan kontra, optimis dan pesimis memandang kurikulum baru ini.
Sebenarnya, perubahan kurikulum adalah hal yang wajar karena zaman yang senantiasa berubah. Namun, tindakan reaktif pemerintah melakukan perubahan kurikulum pasca petaka moral dan sosial yang menimpa dunia pendidikan akhir-akhir ini, seakan menempatkan kurikulum sebagai biang keladinya. Sejumlah kalangan menilai tindakan ini kurang bijaksana dan terlalu memperturutkan kepentingan politis sesaat, pun tidak didasari atas sebuah penelitian dan kajian komprehensif tentang layak tidaknya kurikulum sebelumnya. Alangkah baiknya, jika setiap kebijakan dan keputusan dikaji terlebih dahulu melalui penelitian mendalam oleh pemerintah sehingga langkah perubahan itu dapat diterima dalam nalar ilmiah dan logika.
Di lain pihak, kurikulum baru ini dianggap memiliki keunggulan karena lebih mengedepankan keseimbangan soft skills dan hard skills. Selain itu, simplifikasi mata pelajaran (mapel), menjadi harapan orangtua yang selama ini ikut merasakan beban berat anaknya akibat banyaknya mapel. Muatan kurikulum baru berbasis pendidikan karakter, juga dinilai sejalan dengan tuntutan masyarakat tentang urgensitas pengembangan kepribadian siswa sebagai manusia seutuhnya yang unggul dan berakhlak mulia.
Terlepas dari itu semua, perlu disadari bahwa perubahan kurikulum tidak selalu menjamin peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, ada banyak pekerjaan lain yang menuntut harus diselesaikan. Setidaknya, peningkatan mutu pendidikan akan tercapai jika delapan standar nasional pendidikan (SNP) yang digariskan PP No. 19 tahun 2005 dapat terpenuhi. Kalau tidak, akan sulit membayangkan perbaikan pendidikan macam apa yang akan kita temui, sekali pun kurikulum baru sudah kita terapkan.
Penting diingat, apapun kurikulum yang akan diberlakukan, guru memiliki peran vital dalam penjabaran kurikulum tersebut di sekolah. Guru adalah ujung tombaknya. Jika guru tidak memahami konsep kurikulum baru ini dengan baik, tujuan pendidikan akan sulit dicapai. Tentu saja, optimalisasi peran guru harus menjadi titik tekannya. Karena pada praktiknya, guru lah yang akan menerjemahkan kurikulum ini secara langsung di ruang-ruang pembelajaran. Acapkali terjadi, kurikulum yang unggul menjadi mandul karena pemahaman dan penguasaan guru terhadap kurikulum yang tumpul.
Kita harus tetap berbaik sangka, kurikulum baru yang diramu oleh para pakar pendidikan itu akan menumbuhkan kembali harapan bagi masa depan pendidikan yang jauh lebih baik. Silang pendapat dan syak wasangka akan menemukan muara kebenarannya pasca penerapan kurikulum baru ini nantinya. Tak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini. Kepedulian akan nasib pendidikan bangsa lah yang menuntut para pendidik untuk bersuara, entah itu sepakat atau tidak. Yang penting, kita sudah melakukan hal terbaik dalam ibadah akademis kita sebagai pendidik. Insyaallah!
*) Guru SMPN 2 Pagerwojo, Tulungagung Jatim, sedang Tugas Belajar di MM UGM Yogyakarta.
Dimuat pada Surat Kabar Harian “Kedaulatan Rakyat” Yogyakarta, Rabu Kliwon, 12 Desember 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H